004

6.3K 386 9
                                    

Fatah turun dari motornya, setelah dia memarkirkannya di pekarangan rumah. Kemudian, dia berjalan masuk ke dalam rumahnya.

"Bagus." Baru Fatah masuk selangkah ke dalam rumahnya, suara ayahnya sudah menggelegar masuk ke telinganya. "Ijinnya cuman maen tapi kok sampe gak pulang gitu ya? Rumahmu pindah apa gimana Fatah? Mana gak bilang dulu kalo mau nginep," sindir Fatih. Ayahnya duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya santai, mengenakan setelan kemeja lengkap dengan blazer abu-abu, dan sebelah tangannya yang memegan handphone.

"Eee...itu anu..." Fatah berkata terbata. Dia melirik kesana kemari, seperti sedang berfikir mencari alasan yang akan terdengar masuk akal. "Itu a-"

"Itu apa Fatah?" potong Fatih jengah mendengar gumaman anaknya. "Kamu tawuran iya?" Fatih bertanya, tapi itu lebih terdengar seperti pernyataan yang mutlak.

"Gausah bilang enggak!" kata Fatih tegas sebelum anaknya sempat membuka suara untuk mengelak. "Mukamu tuh loh udah jelas banget kalo kamu abis tawuran," lanjutnya.

Fatah mengurungkan niatnya untuk mencari alasan, dia menundukan kepalanya. "Maaf, Ayah." Hanya itu yang bisa dia ucapkan.

Fatih menghela nafas. "Sini!" Dengan patuh Fatah bergerak duduk disebelah ayahnya sesuai yang diperintahkan. "Ayah udah bilang ayah gak ijinin kamu tawuran kenapa masih tawuran?" kali ini nada bertanyanya terdengar lembut.

"Ma-"

"Ayah gak perlu maaf, Fatah! Ayah perlu kamu jawab pertanyaan ayah. Kenapa kamu langgar janji kamu sama ayah?" tanyanya lagi.

Fatah total diam, bingung mau menjawab apa selain kata maaf. Kepalanya masih setia menunduk, dia tidak berani menatap ayahnya, merasa sangat bersalah telah mengingkari janjinya.

Penyesalan yang muncul sejenak hanya untuk saat ini, tapi kemungkinan besar akan kembali dia ulangi nantinya.

Fatih kembali menghela nafas berat. "Kamu kan tau, ayah larang kamu tawuran karna ayah gak mau kamu luka. Liat ini!" tangan Fatih terulur menyentuh lembut luka-luka di lengan Fatah yang disambut oleh ringisan perih. "Ini sakit kan? Ayah gak mau kamu sakit, makanya ayah larang kamu, tapi kamu bandel selalu gak nurut sama ayah. Janji gak tawuran lagi, tapi kamu tetep lakuin lagi," Fatih berucap sedih melihat setiap luka di tubuh anaknya.

"Ayah, Fatah minta maaf. Fatah gak bisa nepatin janji."

Fatih menatap lekat anaknya, matanya terlihat sedih. "Ambil kotak obat! Biar ayah obatin," titahnya.

"Gausah, Yah. Ini udah diobatin kok," tolak Fatah dengan halus.

"Cepetan ambil! Ayah obatin lagi."

Tidak mendebat lagi, Fatah langsung pergi ke belakang mencari apa yang ayahnya minta. Begitu kotak yang Fatah bawa itu berpindah tangan, Ayahnya dengan tekun mengobati luka-luka tersebut.

"Terus ini kamu gak sekolah?" tanya Fatih memicing menatap Fatah curiga.

"Hehehe..." Fatah hanya cengesan memanggapi pertanyaa itu.

"Nakal." Fatih berdecak. Dua jarinya bergerak menyentil kening putranya. "Terserah kamu lah. Ini nanti di beresin ya nih! Ayah mau berangkat kerja dulu." Fatih beranjak pergi keluar rumah.

Setelah Fatih benar-benar pergi, Fatah kembali melakukan apa yang Ayahnya perintahkan. Kemudian, dia berjalan menuju ke kamarnya. Dia menghembusakan napasnya nyaman saat tubuhnya berbaring di atas kasur. Fatah mulai memejamkan matanya, mencoba untuk tidur.

Baru semenit dia menutup mata, bayangan bibirnya yang dicium oleh Gilang melintas dalam benaknya. Sontak dia membuka mata, berdecak kasar, dan menggelengkan kepala untuk mengusir bayang-bayang itu. Meski demikian, dia untuk mencoba tidur lagi dan memilih mengabaikan hal itu.

Be MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang