022

4.2K 275 9
                                    

"Jangan cemberut aja gitu lah mukanya," Gilang menegur ketika Fatah turun dari motornya.

"Ya abisnya kesel. Kita ini ka  mau nyelesaiin masalahnya Alter kok malah kita yang nyari masalah sama geng Astral-Astral itu." Fatah menajamkan pandangnnya menatap Gilang dengan alis yang semakin menukik. Tangannya bertolak pinggang sebagai bahasa tubuhnya mencoba mengatakan bahwa dia sedang kesal. "Lo juga! Ngapain malah setuju sama rencana gilanya si Fino? Geng lo bisa aja dalem bahaya, ngerti gak sih? Astral itu nekat bisa sampe ngebunuh orang bahkan yang gak salah sama sekali kaya Banu"

Gilang meringis mendengar omelan yang keluar dari mulut Fatah. "Iya, iya gua ngerti kok. Tapi ini resikonya. Resiko kita buat geng-gengan kaya gini ya ini. Siapa aja yang ikut tawuran gini pasti bakal ngebahayain nyawanya. Ini semua resiko yang kita ambil sebagai ketua kan? Sebagai orang yang mendirikan sebuah geng, pasti bakal punya musuh dimana-mana dan punya banyak masalah. Lu harusnya juga udah tau sama semua ini kan?" Gilang mencoba menjelaskan pendapatnya dengan baik.

"Iya itu di dalem kondisi tawuran, tapi yang gua takutin mereka ngelakuin hal jahat sama temen-temen kita diluar area tawuran, kita bisa aja diserang pas kondisi kita lagi gak siap" Fatah menunduk lesu. Kedua tangannya mengepal disisi tubuhnya, alisnya berkerut dengan mata yang bergerak gelisah menatap ke bawah.

Fatah hanyut dalam lamunannya. Pikirannya dipenuhi oleh kemungkinan-kemunhkinan buruk yang belum tentu akan terjadi. Tapi, dia tetap saja ketakutan.

Gilang tersenyum bijak "Fino udah bilang dia gak akan ngebiarin anggota kalian kenapa-napa kan? Ditambah lagi temen-temen lu di Sinister itu kuat, mereka bisa jaga dirinya sendiri. Gitu juga sama anggota gua. Gua sendiri yang pastiin mereka aman"

"Tapi itu semua diluar kendali kita. Lu tau, anggota kita bisa aja diserang pas kita gak ada. Kita gak bisa selalu mastiin mereka bakal aman. Di Sinister ada Vico, Sultan, terus Devon? Gimana kalo mereka yang diserang? Mereka gak sekuat itu, Lang. Mereka bisa jadi sasaran empuk"

Gilang meletakkan tangan di pundak Fatah, memberikan dukungan yang mungkin saja dibutuhkan untuk menenangkan dirinya. "Lu ketua mereka. Kalo lu aja udah takut kaya gini, terus siapa yang mau ngelindungin mereka? Iya kita emang gak bisa ngelindungin mereka terus-menerus, tapi mereka bisa ngelindungin diri mereka sendiri kalo kita gak ada, Tah. Percaya sama mereka! Mereka bukan anak kecil. Kalo lu lupa, Devon gitu-gitu lawan lu di tempat tawuran. Lawan yang bisa dibilang cukup kuat. Apalagi sekarang dia punya Arson. Gak bakal ada yang kenapa-napa! Tenangin pikiran lu oke! Jangan mikir macem-macem!"

"Tapi takut..." cicit Fatah semakin menundukan kepala dan tangan yang semakin mengepal kencang sampai urat tangannya terlihat menyembul dari kulitnya.

Gilang tersenyum teduh. Tangannya yang tadi masih di pundak Fatah, kini berganti mengusap pucuk kepalanya. Dia mengusap lembut helaian rambut legam kecoklatan itu. "Ayo naik! Gua ajak jalan-jalan. Kita beliin martabak buat ayah lo" katanya.

Fatah mendongak spontan menatap pada Gilang.  "Ga–"

"Udah ayo buruan naik! Nanti keburu tutup tukang martabaknya" Gilang memotong ucapan Fatah dan menarik tangannya supaya cepat naik kembali pada boncengan motornya.

Fatah menurut pada akhirnya. Memilih mengalah karena sudah paham dengan sifat Gilang yang pemaksa. "Mau nyari martabak dimana?"

"Gak tau. Muter-muter aja kita cari tukang martabak yang masih buka"

"Di deket markas Sinister ada tuh tukang martabak yang biasanya masih buka jam segini. Beli disitu aja" kata Fatah merekomendasikan tempat penjual martabak yang dia ketahui.

Gilang membelokkan motornya di pertigaan jalan. Bukan belok ke arah jalan yang seharusnya nenuju markas Sinister, tapi ke arah sebaliknya. Hal itu jelas membuat Fatah bingung.

Be MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang