"Iya, aku baru aja sampai di stasiun. Bawel banget sih, aku udah besar."
"Lo itu masih kecil, Nahla. Lo nggak tau dunia di luar sana kejam banget. Lo iris bawang aja nangis,"
"Dih. Semua orang kalau di suruh iris bawang satu panci juga nangis."
"Siapa yang pulang-pulang nangis karena bahunya di senggol motor?"
"Tangan aku sampai lecet, Naomi."
"Siapa yang nangis karena nggak dapat teman kelompok?"
"Itu aku di bully."
"Terus siapa yang nangis di putusin Regan?"
Nahla menghentikan langkah kaki dengan tegap seperti sedang latihan paskibra. Meremas pegangan koper di sampingnya. "Bisa nggak sih, gue nggak dengar nama cowok itu setiap kali lo telpon?" Nahla memutar bola matanya kesal. "Seolah-olah gue nggak bisa hidup tanpa dia,"
"Emang."
Nahla menggeram kesal menghentakkan kaki melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Membenarkan kaca mata hitam di hidung minimalisnya. "Yah, yah, terserah," Nahla menyerahkan tiket pada petugas kemudian mencari urutan nomor gerbong kereta.
"Berani lo ke Bandung sendirian? Regan nggak jemput lo,"
"Dia punya kehidupan sendiri, ngapain ngurusin gue,"
"Yakin tujuan tiket lo benar? Nggak salah lagi?"
"Benar. Udah gue Pap ke lo tadi,"
"Sampai Bandung telpon gue. Lo nggak tau kehidupan kota gimana,"
"Emang selama ini gue hidup di desa? Perasaan, tempat tinggal gue nggak kampung banget sampai lo sekhawatir ini."
"Khawatir lah, ini pertama kali lo pergi jauh."
"Kalau gue diam terus di rumah mau jadi apa?"
Nahla mendengar helaan nafas pelan. "Hati-hati ya dek, gue takut banget lo kenapa-napa," Kata Naomi merubah intonasi suara menjadi lembut.
"Iya, gue juga selalu kabarin lo, kok. Jangan khawatir, gue udah dewasa. Percaya sama gue," Nahla mengangkat koper meletakkan ke atas bagasi kereta. "Gue udah dalam kereta, nanti gue kabarin kalau sampai Bandung,"
"Kosan lo gimana?"
"Aman,"
"Yakin daerah sana aman? Lo nggak bisa minta tolong Regan, apa?"
"Minta tolong apa sih, kak? Regan punya pacar, nggak bisa dua puluh empat jam jaga gue. Lagi pula gue bukan siapa-siapa dia lagi. Please banget hargai privasi dia dan gue. Kita udah punya hidup masing-masing."
"Okey, janji lo nggak akan kenapa-kenapa,"
"Em," Nahla duduk di kursi menatap jendela. "Lo juga baik-baik, salam buat keponakan gue,"
Nahla melepas AirPods di telinga kemudian mencari posisi nyaman di tempat duduknya. Sekarang jam sebelas malam. Perjalanan menuju Bandung memerlukan waktu enam jam. Kemungkinan jam lima pagi Nahla tiba.
Membuka aplikasi di ponsel untuk mengisi waktu. Membaca berita terkini dan mencari tahu lebih banyak lagi tentang kampus-nya.
Kereta mulai berjalan, Nahla tersenyum kecil di balik masker putih yang menutup sebagian wajahnya. Karena pandemi covid, Nahla sudah terbiasa memakai masker, rasanya ada yang kurang jika tidak mengenakan masker.
Bicara soal kampus, Nahla masuk melalui jalur undangan. Ia tidak terlalu pintar di sekolah, bilang saja Nahla selalu tiga besar di kelas. Mungkin nasibnya yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regan & Nahla
RomanceCerita romansa mantan kekasih yang masih terhubung meski hubungan keduanya telah kandas. Akankah kebersamaan mereka sejalan atau hanya kenangan? Akankah berakhir di pernikahan atau datang sebagai tamu undangan? Inilah cerita tentang kisah klise Reg...