18. Masalah dalam masalah

644 111 12
                                    

Nahla masih duduk memeluk kedua kakinya di atas ranjang kamar. Mendengarkan seseorang yang berbicara melalui telpon. Sudah tiga puluh menit dan jam menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Sebesar itu, Kak?" tanya Nahla memastikkan sekali lagi. "Terus orangnya kemana?"

"Kabur, dek." terdengar isak tangis lagi membuat Nahla mengusap air matanya yang ikut terjatuh. "Makanya gue nggak bisa kirim lo uang. Mungkin setelah masalah Mas Arya selesai ya Na,"

Nahla menghapus air matanya. "Lo nggak perlu pikirin gue. Yang penting lo sama anak lo masih bisa makan dan aman. Gue yang merasa bersalah nggak bisa bantu apa-apa,"

"Gue merasa hidup lo itu tanggung jawab gue sampai lo menikah."

"Pokoknya lo nggak perlu pikirin gue. Di sini gue hidup berkecukupan. Nanti kalau gue ada rezeki, gue bantu lo ya,"

"Nggak, lo kerja buat diri sendiri aja. Cuma satu pesan gue, hati-hati pergaulan. Gue takut banget lo kebawa arus pergaulan bebas,"

"Nggak akan, percaya sama gue." Nahla menyakinkan.

Keduanya saling menguatkan dan memberi semangat satu sama lain sebelum sambungan telpon terputus. Nahla menjatuhkan handphone ke atas kasur. Memejamkan mata yang memerah karena menangis. Kakak perempuan satu-satunya keluarga yang Nahla punya sedang mendapat musibah.

Suaminya di tipu oleh orang. Bisnis dan uang ratusan juta di bawa kabur. Belum lagi semua tagihan masuk terus menerus. Bahkan untuk menyewa pengacara pun sudah tidak ada dana. Sebenarnya sudah lama kejadiannya, namun Naomi tidak ingin membebankan Nahla, baru sekarang ia menceritakan semuanya.

Mengetahui kondisi ekonomi Naomi yang semakin memburuk membuat Nahla merasa bersalah. Rumah mewah nya harus terjual dan pindah ke rumah yang lebih kecil, tiga unit mobil di jual. Belum lagi harus membayar cicilan dan denda.

Nahla menghembuskan nafas pelan merebahkan tubuhnya. Ia berusaha tidur meski pikirannya berkecamuk. Nahla harus bisa membantu Naomi.

**

Kembali kuliah seperti biasa. Kini Nahla hanya fokus kuliah dan mencari uang. Tidak ada lagi waktu untuk bersenang-senang. Hasil yang ia dapatkan Nahla transfer pada Naomi, meski tidak seberapa setidaknya Nahla bisa memastikan jika Naomi dan keponakannya tidak kelaparan. Mungkin hanya dengan itu Nahla bisa membantu.

Sehabis kuliah Nahla selalu kerja serabutan. Entah itu pelayan di rumah makan, kasir di toko ataupun menawarkan dagangan orang. Semua Nahla lakukan selama satu minggu terakhir. Ia selalu pulang larut hingga lupa dengan kesehatan dirinya sendiri.

Nahla menatap wajahnya sekali lagi di cermin usai membasuhnya dengan air. Mengatur nafasnya sebelum pulang. Sudah pukul sebelas malam. Nahla berpamitan kepada pemilik rumah makan.

Berjalan menuju kosan, Nahla juga memutuskan untuk pindah kosan ke tempat yang lebih ekonomis. Ia juga tidak bisa mengikuti peraturan kosan yang mengharuskan Nahla sudah ada di sana pukul sembilan malam. Sedangkan Nahla selalu pulang larut malam.

Langkah kaki Nahla terhenti, ia mendapati seseorang sedang berdiri di seberang jalan dengan tubuh bersandar ke badan mobil. Kedua tangannya terlipat di dada. Meski dalam kegelapan, sorot mata tajamnya membuat Nahla akhirnya mendekat.

"Sibuk banget?" bukan kalimat sapaan melainkan sindiran yang keluar pertama kali dari bibir Regan.

Nahla mengangguk sekali.

Regan & NahlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang