19. Salah pilih lawan

771 113 4
                                    

Hari ini Nahla memutuskan untuk tetap di kosan. Bangun tidur kepalanya pusing, mungkin karena ia terlalu lelah beberapa hari terakhir. Notifikasi terus berbunyi membuat Nahla akhirnya menggeram kesal mengangkat telpon tersebut.

"Apa, sih?!" tanya Nahla kesal. "Sudah gue bilang gue nggak mau nikah sama lo, Regan! Gue bukan pelampiasan!"

"Gue di depan."

Nahla melempar handphone nya kesal kemudian menendang udara dengan kaki dan tangannya kesal. Usai meluapkan kekesalannya, Nahla bangkit dari ranjang lalu membuka pintu. Karena kosan miliknya sekarang tidak ada peraturan membuat Regan bebas datang dan pergi.

"Lo nggak ada kerjaan lain?!" kata Nahla menyambut kedatangan Regan yang langsung masuk tanpa Nahla persilahkan.

Regan melepas topi dan maskernya usai Nahla menutup pintu.

"Dari pada lo mohon sama gue lebih baik lo mohon sama pacar lo. Gue bukan pelampiasan!" Nahla menguncir rambutnya asal. "Tolong jangan ganggu hidup gue, ketenangan gue,"

"Nggak mungkin gue mohon-mohon sama Aruna, Na," kata Regan mengikuti langkah dan tatapan Nahla.

"Kenapa nggak mungkin? Sedangkan lo mohon-mohon sama gue?" tanya Nahla bingung.

"Iya dia maunya sekolah,"

"Terus, lo pikir gue nggak mau sekolah? Lo mikirin masa depan dia, memastikan semua lancar dan indah tapi lo nggak mikirin nasib gue kan? Lo egois!"

"Kita saling menguntungkan, Na,"

"Menguntungkan dari segi apa?! Itu kepentingan lo sendiri!"

"Terus gue harus gimana supaya lo mau?"

Nahla menyisir rambutnya yang berantakan. "Sampai kapanpun gue nggak mau. Lo mikir nggak sih. Misalkan gue nikah sama lo terus kita cerai, gue harus menanggung semuanya sementara lo bisa nikah lagi sama dia dengan masa depan dia yang cerah. Egois nggak? Mungkin hidup lo akan terus berjalan tapi hidup gue berakhir, Regan."

"Gue baru aja kehilangan bokap gue, Na. Gue juga nggak mau kesehatan nyokap gue turun karena hal ini."

"Cukup. Gue muak dengan semua kalimat lo." Nahla duduk di bibir ranjang dengan kedua tangan menompang kepalanya.

Regan mengeluarkan handphone lalu melemparkannya ke ranjang di samping Nahla. "Kakak ipar lo beberapa hari yang lalu telpon gue-" Mendengar itu Nahla menatap handphone Regan. "Dia terlilit hutang dua miliar. Lo tau?"

"Apa?" Nahla mengakat kepalanya menatap Regan.

"Dia di tipu sama orang, bisnisnya lagi hancur. Awalnya gue nggak percaya. Tapi setelah gue cari tahu semua itu benar. Dia mau pinjam uang. Gue nggak kasih tau karena takut buat lo sedih. Terlebih melihat keadaan Naomi sekarang. Mereka bukan membeli rumah, tapi ngontrak. Kalau lo nggak percaya gue punya semua foto di sana.

Mata Nahla berkaca-kaca meraih handphone Regan. Membuka galeri membuatnya membungkam mulutnya dengan tangan kiri. Air matanya jatuh dengan tubuh bergetar.

"Gue bisa bantu Naomi," Regan menekuk kakinya menghadap Nahla. "Kita saling membantu,"

Nahla memeluk tubuhnya menyembunyikan wajahnya disana. Isak tangis mulai terdengar. Melihat Naomi dan anaknya tinggal di kontrakan kecil yang kumuh membuat hati Nahla teriris.

"Kepala gue sakit," Nahla mengusap air matanya lalu mengembalikan handphone Regan sambil mendorong tubuh Regan pelan untuk menjauh. "Tolong. Tolong jangan ganggu gue hari ini."

"Gue tunggu kabarnya sampai malam ini. Kalau lo masih nggak berubah pikiran, mungkin ini terakhir kalinya kita ketemu."

Nahla membuang wajahnya. "Lo jahat." gumam Nahla.

Regan berdiri. "Gue pulang."

**

Karena kepalanya sakit dan terasa berat, usai Regan pulang Nahla memutuskan untuk tidur. Seharian ia tidur dan tersadar di pukul satu malam. Nahla masih duduk diam dengan pikirannya yang terus meronta. Matanya bengkak karena ia menangis sebelum tidur sampai akhirnya tertidur.

Telapak kakinya menginjak lantai keramik yang dingin. Memasak mie goreng untuk mengisi perutnya yang keroncongan.

Nahla mengintip di jendela kecil samping pintu kamar kosan. Suara orang di luar sana masih ramai. Mereka pria dan wanita berkumpul seperti sedang transaksi. Apa Nahla salah memilih kosan?

Dari gelapnya kamar miliknya, Nahla melihat satu per satu wanita keluar dari kamar kos. Nahla kira kosong tapi ternyata terisi semua. Mereka keluar dengan balutan baju yang sexy.

Nahla berlari kecil mematikan kompor, mie nya hampir mengembang. Sepertinya Nahla harus pindah kontrakan.

Baru saja mie ingin masuk ke mulutnya terhenti mendengar suara ketukkan pintu. Nahla diam mematung, lama kelamaan ketukan itu hilang. Nahla menjatuhkan garpu ke piring mencari ponselnya.

Dengan gemetar tanpa sadar ia menelpon seseorang. "Bawa gue pergi dari sini." itu kalimat pertama Nahla begitu sambungan telpon terhubung. Suaranya yang bergetar membuat orang di sana langsung mematikan telpon dan bergegas menghampiri.

Nahla menurunkan dua koper dan satu tas ransel. Memasukkan semua baju dan barangnya panik. Yang Nahla pikirkan sekarang adalah pergi dari sini secepatnya. Perutnya yang lapar menghilang karena ketakutan.

Sembari menunggu Nahla mengintip lagi suasana di luar. Sepertinya ada malam tertentu mereka berkumpul. Usai bertransaksi sepasang wanita dan pria masuk ke kamar. Nahla terduduk memeluk kakinya. Ia kembali menelpon Regan.

"Masih lama nggak?" tanya Nahla bergetar.

"Lima menit."

Nahla mengangguk memasukkan handphone ke saku jaket. Tidak lama kemudian Nahla melihat seorang pria berlari kecil memecah kerumunan. Godaan dari wanita tidak ia hiraukan.

"Nahla," Regan mengetuk pintu.

Nahla segera membuka pintu mendorong kopernya ke arah Regan.

"Makanya kalau di bilangan nurut." Regan memarahi Nahla sambil menarik dua koper milik Nahla.

Nahla hanya diam berjalan di samping Regan. Tangannya menggenggam erat baju Regan dengan mata menunduk mengikuti langkah pria itu.

"Ih!" Nahla menepis tangan seseorang yang menyentuh pinggangnya. Refleks Nahla mendekatkan tubuhnya pada Regan.

"Gue nggak pernah lihat lo sebelumnya." Pria itu menatap Nahla dari bawah ke atas-atas ke bawah."

"Di apain?" Regan menoleh menatap Nahla tajam. Menarik lengan Nahla mendekat seolah mengecek apa yang hilang.

"Sentuh pinggang aku,"

Tanpa aba-aba dengan gerakkan secepat kilat pria itu langsung jatuh ke tanah. Padahal Regan hanya menepis tangan kirinya. Kejadian itu membuat semua mata tertuju pada Regan.

"Lo pikir cewek gue sama dengan mereka." Regan menendang perut pria itu membuat Nahla masih dalam keterkejutannya.

"Regan udah, ayo pergi," Nahla menarik Regan karena melihat semua pria mulai mendekat.

"Hoy, siapa lo."

Regan menendang kepala pria itu sekali lagi sebelum akhirnya memutuskan pergi. Namun langkahnya di hadang oleh beberapa pria yang sepertinya teman dari orang yang Regan tonjok.

"Apaan?! Mau juga?" Tanya Regan menantang sebelum akhirnya perkelahian tidak dihindarkan.

TBC

Regan & NahlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang