Part 35

805 80 10
                                    

Setelah melakukan operasi singkat selama satu jam, Tara dalam keadaan tertidur di pindahkan ke ruang perawatan. Lukanya bisa terinfeksi parah bila ditangani sedikit terlambat. Tara mendapatkan sepuluh jahitan, serta mengalami kekurangan nutrisi dan dehidrasi berat.

Morrow menjaga di sisi Tara seharian. Meski pikirannya bergelut kemarahan, dia masih menahan diri. Darrel belum tertangkap, pria itu melarikan diri ketika tau Morrow akan melakukan pembantaian besar. Dasar pengecut.

"Ekspresimu mengerikan." Celetuk Tara sudah terbangun dari tidur. Mereka sama-sama kacau secara emosional, tapi Tara ingin melupakan masalah ini walau hanya sebentar. "Salah atau benar. Aku sudah tidak lagi dalam kondisi itu. Aku hanya ingin bersyukur bisa selamat." Untuk masa lalu hingga apa yang sedang berjalan sekarang.

"Aku belum mengerti mengapa kau harus melalui semua itu?" Tara sontak terkekeh mendengar Morrow mengeluh.

"Aku juga tidak tau." Segala kerumitan ini memberikan Tara sebuah pelajaran tersendiri. Seumur hidupnya, dia belum pernah mengalami kegelisahan dan ancaman besar yang membuat dia digiring ke dalam sejatinya keputusasaan.

Dia bukan penganut agama tertentu atau menyembah Tuhan yang mana. Tapi di kondisi ini, jiwanya sengaja di koyak seolah wajah Tuhan di depannya, mengamati setiap langkahnya dan dia dipertemukan oleh ketidakwajaran. Ini pemahaman tersulit bagi Tara, kecuali bagi seseorang yang pernah mengalami sekarat.

"Meskipun aku tidak tau, aku mencoba keras untuk mengerti mengapa aku berada di sini." Tara sudah banyak menangis, gerbang kehampaan pun telah ia lewati hingga dunia terasa abu-abu dan membosankan. "Aku sengaja dituntun untuk mengerti."

Morrow masih menyimak. Dia mengambil tangan Tara lalu menggenggam erat. Sungguh ia mengerti perasaan itu, bedanya adalah Morrow semakin terjebak dengan dunia gelap dan mengkhianati kebenaran. Ia memilih jalan sebagai pembantai. Entah sudah berapa banyak Heroin yang dia hisap. Tidak ada ketenangan sejati.

"Darrel Boston. Pria itu menabrak ku, dia sengaja membunuhku. Aku melihat foto koleksi korban yang dia bunuh. Aku berada di salah satunya. Aku Tara bukan Vanilla, aku mengatakan itu padanya." Bingung Tara harus bercerita dari mana pada Morrow. Banyak hal telah ia lewati.

"Hampir seumur hidup aku sendirian. Ibuku meninggal saat aku usia remaja. Ayahku tidak tau dimana, apakah dia sudah mati atau belum, aku tak peduli dengannya. Waliku hanya mengambil uangku. Hanya aku sendiri. Sering kali aku kesepian, tapi hanya bisa menyimpannya untuk diriku sendiri. Mantan pacarku adalah orang-orang brengsek. Aku sering tertawa ketika aku berharap orang lain mau berbagi perasaan denganku.

Dan semua kekosongan, kegelisahan, rasa frustasi aku tuang dalam cerita. Sebenarnya itu cerminan dari diriku sendiri. Tapi sedikitpun aku tidak ingin menyakiti orang lain. Dirimu, Vanilla ataupun Darrel Boston. Dunia kejam yang ku gambarkan memiliki satu tujuan, yaitu penerimaan. Mana mungkin bisa merasakan keberuntungan dan syukur jika kita belum melewati pahitnya hidup. Itu hukum yang ku buat dalam membangun cerita.

Dunia imaginasi ku sangat luas, beragam, indah dan menantang. Aku suka itu. Semua tokoh berada dalam pelukanku. Aku tidak peduli dia berbuat jahat atau tidak. Karena aku yang paling tau isi hatinya. Aku paling paham tentangnya."

Tara membalas genggaman tangan Morrow. Dia ingin akhir bahagia. Sebuah puncak dimana dia belum jelajahi dan semua hasil di atas ekspektasinya.

"Aku telah membuat permintaan terakhir. Bahwa aku menyesal telah melewati banyak hal. Aku kurang bahagia. Tapi sesungguhnya apa itu kebahagiaan? Diriku hanyalah cangkang kosong. Apa yang sedang ku kejar selama ini?

Darrel Boston, dia ingin terus dicintai. Dia mengancam, membunuh, memanipulasi. Semua karena dia ingin mengisi ruang kosong di benaknya. Dia memiliki obsesi besar kepada kekasihnya. Perempuan itu ialah saudaranya sendiri. Di dunia ini mereka bergantung satu sama lain. Ayah mereka kejam. Punya penyakit gila. Mereka mengalami kekerasan dan hidup dalam ancaman.

Ketika usia remaja, saudara perempuannya ternyata mengalami gejala turunan penyakit gila. Ini juga berhubungan dengan tingginya stres. Dia sering dalam kondisi tidak sadar lalu akhirnya membunuh ayahnya sendiri. Tentu saat dia kembali sadar, perempuan itu jadi takut pada dirinya sendiri. Alhasil, Darrel memutuskan untuk membunuh teman sekelasnya dengan melemparnya dari lantai atas gedung. Agar membuktikan yang gila bukan hanya perempuan itu. Darrel mengambil foto korban setelah itu menunjukkan padanya. Darrel adalah pria penakut, namun cerdik. Dia sangat hati-hati akan tetapi sering kehilangan kendali jika berhubungan dengan kekasihnya.

Maka dari itu aku menyinggung tentang kekasihnya saat Darrel menculik dan mau membunuhku."

Semua ini ternyata dalam perhitungan Tara. Morrow masih belum menyangka, selama bertahun-tahun dia mencari motif sang pembunuh hingga dia di tuduh dan dijebloskan ke dalam penjara remaja. Ternyata hanya karena ini. Sudut bibir Morrow terangkat gemetar.

"Ternyata kau mengerikan." Morrow jadi mengerti alasannya wanita itu berhasil menjadi penulis ternama. Dia sangat kejam.

Tara bisa melihat mata Morrow terpendam penuh kekecewaan. Ia sangat mengerti. Morrow adalah tokoh cerita yang lebih kelam dari Darrel Boston. Dia merupakan ancaman besar. Sekejap Tara memejamkan matanya kuat. Yang sebenarnya jahat adalah dirinya.

"Ceritakan semuanya Tara tanpa terkecuali." Suara Morrow tenggelam berat.

...........

Tangan Darrel Boston sepenuhnya membeku. Usai berhasil meloloskan diri dari amukan Morrow, hingga acara di Teatro Tuscany hall hancur berantakan dan seluruh kota Tuscany mengalami kepanikan. Darrel malah menemukan dirinya telah kehilangan wanita gila itu.

Untuk pertama kalinya dia melewatkan mangsa kecilnya yang sudah tak berdaya karena kehilangan banyak darah. Padahal semua pintu sudah terkunci rapat tanpa celah, cctv pun tidak menangkap apapun sosok wanita itu. Apalagi semua penjaga ketat mengawasi tempat ini 24 jam. Jadi, bagaimana bisa wanita itu melarikan diri?

Sekali lagi Darrel terkekeh frustasi. Ini sama sekali tidak masuk akal. Tempat paling tersembunyi di ruang bawah tanah gedung pencakar langit Boston Tower, mana mungkin dia mudah keluar dari tempat labirin ini. Apalagi tidak ada jalan lain kecuali lift otomatis yang langsung menuju lantai atas dan hanya kartu akses milik Darrel yang bisa mengendalikan pemberhentian lift ke lantai tertentu.

Wanita itu benar-benar gila.

"Cari dia!" Darrel menggebrak meja lalu melemparnya ke lantai hingga alat-alat tajam sebagai pembunuh wanita itu berserakkan. Sedangkan para pengawalnya bergegas pergi mencari keberadaannya.

Tara ataupun Vanilla, siapapun identitas wanita itu. Darrel baru pertama kali merasakan guncangan besar di jiwanya dikarenakan sebuah omong kosong. Liana telah mati. Darrel melihatnya dengan mata kepala sendiri. Jadi mana mungkin Liana bisa kembali hidup. Apalagi dia membuktikan sendiri Liana masih terdiam tak bernapas di peti matinya.

Namun anehnya, bagaimana Tara mengetahui kisah tentang dia dan Liana sampai sedetail itu? Semua gambaran dari penjelasan Tara begitu mendalam. Bukan sekedar tebakkan. Mustahil jika Liana mempunyai teman dekat tanpa Darrel ketahui.

Darrel curiga, sebenarnya apakah wanita itu manusia?


..........


Smooth & Tasty Vanilla [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang