Part 50 - After Ending

584 56 18
                                    

Sebenarnya, apa yang Tuhan rencanakan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebenarnya, apa yang Tuhan rencanakan?

Perlahan tangan Tara masuk ke dalam genggaman tangan Benedict yang terbuka untukmu. Mencoba mencari ingatan yang tidak dia miliki, namun dia harus meyakini itu. Tangan Benedict sangat hangat membuat Tara bergeming sesaat. Lalu dia memandang balik mata Benedict.

"Kau benar tidak mengingatku?" Benedict tersenyum kecil.

"Aku merasa bersalah tidak bisa mengingatmu. Aku..." Kalimat Tara berhenti oleh tatapan kekecewaan dari penyelamatnya. "Aku akan membalasmu. Meskipun aku tidak ingat, aku percaya padamu dan pada Jack." Tara mencoba menanangkan keadaan.

"Bagaimana cara kau membalasku?" Tangan merekapun terlepas karena Tara langsung menarik cepat dirinya. Minuman Benedict sudah jadi, dia meneguknya perlahan sambil menunggu jawaban Tara. Padahal dia benar-benar tidak mengharapkan balasan apapun. Namun sekarang dia mengharapkannya.

"Jujur, aku tidak membutuhkan uang. Hidupku sudah lebih dari cukup. Menurutku uang bukan balasan yang bagus untukku." Benedict mengangkat gelasnya, menggoyangkan minumannya lalu lanjut meneguknya. Benedict hanya berpura-pura seperti membisniskan hal ini.Padahal dia hanya ingin mendapatkan ekspresi kebingungan Tara yang lucu menurutnya.

"Lalu aku harus bagaimana? Apa kau tidak memiliki apa yang kau inginkan lainnya?" Pertanyaan Tara memancing keinginan buas Benedict yang tak ingin dia beri tahu.

"Aku orang yang berambisi besar. Kau mungkin tidak bisa mewujudkannya."

"Setidaknya aku bisa membantumu. Karena aku berhutang nyawa padamu." Tara bersungguh-sungguh. Dia harus membayarnya lebih cepat kemudian bisa lepas dari pria itu. Entah Benedict atau Morrow, pria itu tidak bisa dia baca. Ini akan lebih berbahaya untuk Tara. Terutama hatinya yang sebentar lagi goyah.

"Baiklah aku akan pikirkan bayaran apa yang tepat untukmu."

Tara langsung mengangguk cepat. Matanya berkedip banyak sambil mencoba menghabiskan minumannya. Dia sudah cukup mabuk, bisa dirasakan dari pipinya yang panas dan pikirannya jauh dari kata jernih. Sedangkan perasaannya malam ini semakin sulit untuk digambarkan. Dia harus segera pulang.

"Boleh aku meminta nomor telponmu? Jika kau sudah mendapatkan jawabannya, aku akan membuat janji temu denganmu." Tara menunjukan kode nomor teleponnya di ponsel kepada Benedict. Sejenak pria itu belum bergerak. Dia mengamati Tara begitu lekat seperti playboy yang ingin main dengan buruannya.

Tara mencoba bersabar. Dia meminta kertas dan pulpen kepada bartender kemudian menulis nomor teleponnya sendiri. Kertas itupun diserahkan ke Benedict. "Aku tidak menganggap buruk jika kau meminta balasan padaku. Malah aku sangat berterima kasih padamu. Aku ingat saat itu aku sangat ketakutan pada kematian. Dunia mendadak gelap tapi aku bisa mendengar dengan jelas keadaan sekitarku. Perasaanku saat itu kacau, tapi mengetahui kau menolongku membuatku jadi lebih tenang. Terima kasih."

Entah kenapa ucapan tulus Tara menyentak jiwanya. Benedict mengakui dia bukanlah orang baik, dia hanya kebetulan menolong Tara dan menjadi penyelamat wanita itu. Dia merasa ini tidak pantas untuknya.

Benedict menerima secarik kertas itu lalu menyimpannya ke dalam saku jaket kulitnya. Ia mau menerima nomor telepon itu dengan maksud lain, tidak seperti yang dipikirkan wanita itu. Tapi sudahlah...

"Aku pamit pulang. Taksi pesananku sudah datang." Tara bangkit perlahan dan memakai kruknya.

"Kenapa kau tidak memintaku mengantarmu?" Jack berceletuk.

"Kau mabuk. Bagaimana kau bisa mengantarku pulang? Lagi pula taksiku sudah datang. Jangan khawatir, nikmatilah minuman kalian." Tara melambaikan tangan berpamitan dengan semuanya.

Benedecit baru tersadar jika kaki Tara belum sembuh dengan baik. Menggunakan satu kruk, berjalan terbata dan susah payah. Mendadak terbesit untuk menghabisi orang yang melakukan tabrak lari kepada Tara. "Sepertinya aku harus mencari tahu lalu memuntilasinya," bisiknya pada diri sendiri penuh kilatan kebencian.

Benci jika melihat wanita itu menderita.

Diluar bar, taksi Tara sudah datang. Namun saat ingin membuka pintu penumpang, sebuah tangan mendorong pintu itu kembali tertutup.

"Aku akan mengantarmu pulang. Tara Lipinski." Tubuh Benedict sangat dekat sampai Tara bisa mendengar deru napas pria itu. Punggung Tara menegang sekaligus merasakan kehangatan yang tidak boleh dia rasakan. Cara pria itu memanggil nama lengkapnya membuat Tara semakin kelimpungan. Bisakah godaan ini berhenti?

Belum sempat membalas ucapan itu, Benedict mengeluarkan uang dan memberikannya ke supir taksi.

Tara melangkah mundur, sebisa mungkin menjaga jarak. Jika tidak, dia bisa melukai perasaan pria itu seperti dulu. Benedict belum tahu apapun bahwa dirinya akan sangat membenci Tara bila Tara terlalu larut. Ia enggan melakukan perhitungan dan pertanggung jawaban dengan pria mengerika tersebut.

"Tenang saja. Pengawalku akan menyetir mobilnya. Kau khawatir aku menyetir dalam keadaan mabuk?" Tak lama mobil Benedict muncul. Pria itu membukakan pintu agar Tara lekas masuk.

"Dengarkan aku. Aku benar-benar ingin pulang sendirian." Tara berhasil mendapatkan pikiran jernihnya setelah semua perlakukan Benedict berlangsung cepat sampai membuat dia bingung sendiri.

"Kau menolak bantuanku? Tara kau membuat perasaanku tersinggung." Benedict memasang wajah manipulatif.

"Bukan itu maksudku." Tangan Tara terbuka, memberi isyarat jika ada kesalahpahaman disini.

Tanpa mau tahu, Benedict mengambil kruk dari sisi Tara. Memegangi lengan wanita itu agar tidak terjatuh, lalu menyerahkannya ke pengawalnya. Diapun berhasil mendorong Tara masuk ke mobil dengan hati-hati, kemudian pintu segera ditutup rapat.

Benedict mengitari mobil dan bergabung di samping Tara. Wanita itu masih kebingungan tetapi karena mobil mulai berjalan Tara buru-buru mengenakan seatbeltnya, memeriksanya berulang kali. Setelah itu dia mengeluarkan kaca mata hitam dari tas mungil dan memakainya.

"Aku tahu ini aneh. Tapi aku masih sedikit takut jika mengendarai mobil malam hari." Tangan Tara berpegangan kuat pada seatbeltnya. Pandangannya terus menunduk tidak berani melihat keluar jendela. Wanita itu berusaha menahan gemetar dan bersikap tegar dengan senyuman kaku yang jelek di mata Benedict. Namun ini memicu amarah Benedict yang seperti meletup di dalam jiwanya.

"Jalanlah lebih pelan." Perintah Benedict ke pengawalnya dengan suara terkendali.

Perjalanan itu berlanjut hening tanpa percakapan. Berhubung Tara memilih tidak mengenal lebih tentang Benedict maupun latar belakangnya. Ini membuat Tara cukup beruntung tanpa perlu berbasa-basi. Tiba saat di gedung apartemen, Benedict hanya mengangguk menerima ucapan terima kasihnya. Ekspresi pria itu tidak terlalu jelas karena suasana yang gelap.

"Jangan lupa hubungi aku jika kau sudah menemukan apa balasan yang kau inginkan."

Mata Benedict semakin kelam mengamati Tara masuk ke dalam apartemen. Dia menahan diri untuk tidak mengantar masuk ke dalam. Karena sepertinya Tara selalu ingin menjauh. Wanita itu mungkin belum tahu jika dia menyadarinya.

"Cari semua informasi tentang wanita itu. Termasuk catatan medis dan masa lalunya." Benedict kembali mengajukan perintah sangat dalam. "Karena aku perlu tahu, mengapa wanita itu mengetahui namaku yang sudah kubuang sejak lama."

Yaitu Morrow Buckland. 


......

Note : Apakah masih ada yang nunggu update cerita ini? 

Jangan lupa tinggalin jejak komentar, supaya aku biar lebih semangat up.

Smooth & Tasty Vanilla [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang