Part 10

3.3K 338 44
                                    

Apakah rindu bisa semenyakitkan itu? Dalam hidup Morrow ia belum pernah dicintai sedemikian rupa hingga rindu menjadi hal yang sulit. Perasaan orang lain hanyalah omong kosong baginya.

Maka dari itu saat Vanilla-pelacur kecilnya mengakui cinta padanya, ia sangat marah dan ingin mencemooh kebodohan wanita itu. Apakah mata Vanilla buta setelah melihat perlakukan kasar yang sering ia lakukan padanya? Morrow patut dibenci. Lalu sebenarnya apa yang ada di dalam otak Vanilla sampai dua tahun perpisahan mereka dan wanita itu masih merindukannya?

Morrow anggap cinta hanyalah bualan, namun apa salahnya jika ia memastikan perasaan murni Vanilla. Jadi malam ini ia mendesak Vanilla dan ternyata wanita itu malah enggan untuk mengaku, tapi sikap keras kepala Vanilla membuat Morrow semakin meruntuhkan tembok tinggi yang dia bangun. Sampai dimanakah Vanilla tetap bertahan meski air matanya pecah. "Katakan padaku kalau kau merindukanku?"

"Aku membencimu." Vanilla berbohong.

"Benarkah?"

"Sangat memuakkan.. Aku ingin pulang." Morrow jengah kenapa wanita itu memaksakan diri. Padahal jelas sekali Vanilla sudah tidak sanggup melakukan apapun bahkan sekedar berdiri di atas kakinya sendiri. "Wanitaku yang malang." Morrow biarkan dirinya mengiba.

"Aku akan baik-baik saja tanpamu. Dan sejak dulu seharusnya begitu. Bagaimana cara agar kau mempercayaiku? Ah.. aku sudah memiliki pacar dan kita pernah tidur bersama." Vanilla berbicara dengan nada gemetaran, seolah putus asa tapi hal itu membuat hati Morrow tersenyum.

"Kau berbohong. Kau tidak bisa bercinta dengan pria selain aku." Ucapan itu terlalu arogan.

"Lalu apa pedulimu yang pernah membuangku! Dan untuk apa aku merindukan pria sialan sepertimu?" Sontak Morrow terdiam kaku merasakan pelukan penuh kehangatan dari Vanilla, ini jauh lebih nyaman dari yang ia perkirakan. Senggukan tangis Vanilla mengharukan dan ternyata wanita itu tidak berbohong atas kerinduannya.

Tangan Morrow bergerak membelai puncuk kepala Vanilla sembari tangan yang lain menepuk pelan punggung gemetar tersebut agar tenang. "Aku tahu."

..\/...

Kehangatan yang nyaman dalam rengkuhan, aroma matahari pagi menyengat, dan keadaan ini terasa familiar, walaupun tak pernah Tara memiliki kenangan tentang itu. Ia hampir lupa bahwa ingatan ini milik Vanilla. Ternyata begini rasanya mempunyai kekasih yang dicintai menjadikan musim semi datang lebih cepat.

Pandangan Tara berputar pada sekitar. Dia tengah berada di dalam lengan Morrow, mereka tidur dalam ranjang yang sama. Napas Tara begitu teratur menyamai helaan napas Morrow. Semalam Tara membiarkan dirinya dibawa pulang ke hotel pria itu, bukan karena keinginannya tapi lagi-lagi seluruh tubuh dan hatinya mengelak untuk berpisah. Menyentuh, memeluk Morrow hal yang paling menenangkan usai gejolak badai menerjangnya beberapa waktu yang lalu. Tara bisa tertidur pulas, bahkan nafsu makannya kembali dan kini perutnya terasa lapar. Memang sudah terlalu siang untuk sarapan, apalagi semalam ia belum menyentuh makanan.

"Morrow.." Ucap Tara pelan. Ia sulit bangun jika pria itu mendekapnya erat dan bukannya menurutinya, pria itu malah berdehem, menolak untuk sekedar bergerak. Bisa dikatakan Tara memandang Morrow sebagai sosok pria tampan juga memiliki bulu mata yang tebal dan lentik, garis hidungnya cukup pas tidak terlalu tinggi, bibirnya terbentuk sensual, bentuk rahangnya tegas walaupun begitu adanya Morrow menyimpan sisi lembut yang orang lain tidak sadari. Morrow akan bersikap tenang dalam menghadapi masalah, tanpa sadar dia akan menunjukan sikap perhatian dibalik ekspresi dingin. Mungkin ini alasan kenapa Vanilla jatuh cinta dengan pria itu. Dan Vanilla juga ikut terperangkap.

"Morrow.. Aku ingin pulang." Kemarin Tara meminta Nila untuk membahas hasil novel yang ia tulis, dan hari ini Nila menyempatkan waktu untuknya.

"Kau tidak mungkin menemui rekan kerjamu dengan mata bengkak. Sangat mengerikan."

Smooth & Tasty Vanilla [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang