Happy reading...
Dihidup ini banyak orang yang aku irikan. Mereka memiliki keluarga, teman baik dan seorang kekasih. Mereka melalui banyak kebahagiaan meskipun itu hal sederhana. Seberapa banyak aku merasa iri pada orang lain, hidupku tak akan berubah. Aku adalah aku. Dikisah hidupku, akulah pemeran utama. Bukanlah orang lain. Jadi aku harus percaya lada diriku sendiri, membimbing diriku menuju akhir yang terbaik.
-Tara Lipinski-
......
Wanita itu pergi, jika ia mencoba mengejarnya mungkin akan menjadi tindakan yang salah. Sebab wanita menganggap dirinya adalah beban. Dosa dari masa lalu dan sulit termaafkan. Morrow sadar diri atas hal itu. Maka dari itu ia sekedar memandang pintu hotel telah tertutup kembali usai kepergian Vanilla. Tangannya mengepal kuat, persetan dengan keinginan liar untuk membuat wanita itu tetap disisinya.
Muak akan diri sendiri, Morrowpun memutuskan mengikuti Vanilla dari belakang, menggunakan lift lain dan tiba di lobby dia masih memandang Vanilla dari kejauhan. Punggung wanita itu terpias kegelisahan. Membuat Morrow ingin sekali merengkuhnya, berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Dia berharap Vanilla merasa tenang disisinya, dapat diandalkan sebab ia ingin wanita bergantung padanya. Wanita itu tak perlu lagi berjuang seorang diri diatas kaki yang goyah namun tetap bertekat terus berjalan. Morrow yakin bila kakinya patah hingga tidak bisa lagi berjalan, wanita itu akan kukuh menjadikan tangannya sebuah kaki.
Langkah Morrow berhenti. Baginya, ini bukan cara terbaik untuk memiliki Vanilla. Harus ada porsi tersendiri untuk bergerak supaya wanita itu pecaya bahwa dia bukanlah pria brengsek seperti dulu.
Beberapa waktu berlalu terdengar dentuman keras dari jalan raya. Semua orang panik, mendapati kecelakaan lalu lintas beruntun. Melukai banyak pengendaran serta pejalan kaki. Sore hari salju turun deras diringi oleh simpahan darah berceceran. Tubuh Morrow mendadak kaku, bayangan kematian Vanilla membuatnya ketakutan setengah mati. Kehilangan Vanilla adalah skenario paling buruk.
Morrowpun akhirnya bisa mengendalikan diri. Dia berlari kepusat terjadinya kecelakaan, mencari sosok Vanilla. Wanita itu ternyata berada dua meter sangat dekat dari truk putih pengangkut perabotan rumah. Vanilla terduduk lemah di sana, menatap nanar kecelakaan mengerikan tepat di depan matanya. Segera Morrow mendekat, saat ditanya apakah dia baik-baik saja, wanita itu hanya membalas dengan tatapan kosong. Morrow langsung terburu-buru memeriksa kondisi Vanilla, ternyata wanita itu hanya mengalami luka lecet di telapak tangannya. Selain itu bisa dikatakan baik.
Dia angkat tubuh Vanilla, merengkuhnya ke dalam sisinya. Tadi ia mendengar Vanilla berbicara aneh karena syok berat. Sayangnya pikiran Morrow sedang kacau, dia harus membawa wanita ketempat aman terlebih dulu.
Sampai di hotelnya, Morrow mendudukan Vanilla di tepi ranjang. Melepaskan sepatunya, syalnya, juga mantelnya. Pakaiam musim dingin yang tebal dapat mempersulit wanita itu bernapas. Setelah itu, dia rebahkan tubuh Vanilla lalu menutupinya dengan selimut tebal.
"Aku akan mengambilkan air minum untukmu."
"Bisakah kau disini sebentar saja? Kumohon." Vanilla mencengkam lengan baju Morrow dengan gemetaran.
Hati Morrow jadi berat atas permintaan itu. Dia ikut merebahkan diri di samping Vanilla. Memeluknya, sambil sesekali menepuk pelan punggungnya agar tenang. Wanita itu memejamkan matanya begitu erat, mencari perlindungan di dalam rengkuhannya.
"Aku takut. Aku takut semuanya. Aku tidak bisa melakukan apapun? Apa yang harus kuperbuat?"
"Kau aman disini." Kata-kata sederhana itu sedikit mencairkan ketegangan dalam diri Tara. Pelukan Morrow selalu terasa nyaman, bahkan dia bisa melakukan itu seumur hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smooth & Tasty Vanilla [End]
Romance"Pukul satu dini hari, sehari setelah perayaan tahun baru, terjadi sebuah kecelakaan beruntun di sebuah persimpangan Hotel Dupont City, hingga nyaris menewaskan seorang wanita bernama Tara Lipinski berusia dua puluh lima tahun. Berita acara meliput...