Ini adalah langkah penyambung yang berat dan rumit. Bahkan Rachel tidak menemukan sedikitpun titik terang dari situasi yang menimpa diri Tara Lipinski. Jangankan bisa menjanjikan hidup tenang. Bisa selamat saja sudah beruntung.
Rachel mendorong kursinya ke belakang. Bersandar, mencoba menenangkan tekanan di lehernya. "Mari kita buat perandaian." Rachel kembali angkat bicara pada Tara yang sudah terkapar di sofa setelah lelah membantu Rachel merevisi hasil tulisan novelnya sebanyak dua puluh ribu kata.
"Terserah. Aku akan meladenimu." Suara Tara lemas. Berinteraksi dengan Rachel adalah hal yang menguras energinya. "Bisakah kita makan malam dulu?"
"Makan malam kedua tidak sehat untuk tubuh. Kau akan sakit." Rachel menolak mentah-mentah. Konsumsi gula dan garam harian Tara sangat mengerikan. Dia monster menelan segalanya.
"Tapi aku benar-benar kelaparan." Bujuk Tara bangkit mendekati meja kerja Rachel.
"Tahan laparmu. Lebih baik kau minum air putih saja." Rachel menyodorkan sebotol air dingin baru dari kulkas di bawah mejanya. "Kau membengkak. Dan pacarmu kecewa kau menjadi wanita gemuk."
"Dia bukan pacarku! Untuk apa aku peduli pendapatnya." Tara menekankan setiap kata.
"Kalian pernah melakukan seks. Setidaknya dia pernah menjadi kekasihmu." Raut mencemooh Rachel ingin Tara remas.
"Kasusku berbeda." Pembelaan yang tidak berguna.
"Ya.. ya.. ya.. aku tau kau tergerak oleh jiwa si Vanilla bagaikan kerasukan. Tapi jangan bohong kalau kau menikmati sentuhannya bukan? Kau pasti mendesah."
"Tidak ada wanita manapun yang mengalami puncak seks tanpa mendesah ataupun mengerang." Tara merampas botol air lalu meneguknya untuk memadamkan emosi. Bukan Rachel jika tidak suka mengajaknya berdebat.
Rachel terkikik seperti penyihir tua. "Aku tahu kau kesal ketika mengingat pria bajingan itu. Apalagi sudah puluhan ratusan email darimu. Ini sudah terhitung sudah dua bulan."
"Jika rumah itu tidak jauh di Kolombia. Aku akan menghampirinya." Kediaman Morrow sangat terpelosok cocok dengan konsep kerjanya. Tangan kanan seorang mafia. "Rumahnya di tengah hutan. Daerah pegunungan yang curam dan masih banyak hewan buas."
"Menarik sekali."
"Benar. Untuk pertama kalinya aku tinggal di tengah hutan. Aku pernah hampir di terkam serigala liar lalu pria Giovinco menembaknya dengan senapan." Tara jadi mengingat kembali pertemuannya dengan sepasang kekasih yang mengerikan.
Tara menoleh jam kayu di sudut ruangan, dentingan bel nyaring dua belas kali tanda memasuki tengah malam. "Lebih baik kita lanjutkan besok. Sepertinya obrolan yang ingin kau bahas tentang 'perandaian' akan panjang."
"Tidak. Aku pikir ini waktu yang tepat. Karena malam membuat emosionalmu tampak tidak stabil." Rachel lagi-lagi menyeringai penuh arti. "Kau pernah bercerita kalau jika hampir setiap malam terganggu mimpi buruk. Aku juga pernah membangunkanmu karena tidak berhenti mengigau."
Mulut Tara terbuka ingin membantah, namun kembali terkatup sambil menunduk menghindari sorot mata Rachel.
"Apa yang sebenarnya kau mimpikan?" Setelah sekian lama tertahan rasa penasaran. Rachel akhirnya melontarkan pertanyaan itu.
"Banyak hal." Kedua tangan Tara menyentuh tepi meja. Sekilas memberikan pembukaan.
"Jika kau ingin bantuanku. Lebih baik tidak ada yang disembunyikan. Supaya aku bisa mengetahui ada jalan lain."
"Aku mengerti maksudmu. Hanya saja ini cukup sulit untuk di katakan."
"Kau bermimpi basah dengan pacarmu." Kembali ke obrolan mesum. Sayangnya, tebakan Rachel benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smooth & Tasty Vanilla [End]
Romance"Pukul satu dini hari, sehari setelah perayaan tahun baru, terjadi sebuah kecelakaan beruntun di sebuah persimpangan Hotel Dupont City, hingga nyaris menewaskan seorang wanita bernama Tara Lipinski berusia dua puluh lima tahun. Berita acara meliput...