Buku terbaru Tara akhirnya rilis. Ini lebih cepat dari yang diduga karena Tara pernah menyelesaikan buku terakhirnya ketika dia menjadi Vanilla. Tentu ini membuat Jack dan Nila-editornya sangat senang. Apalagi berita tentang acara tanda tangan untuk penggemarnya masih hangat, dua bulan lalu. Jadi, ketika Tara merilis bukunya dalam waktu dekat ini membuat pemasarannya sangat baik.
"If you look at my eyes. Bukankah judulnya terlalu biasa." Lagi-lagi Rachel mengkritik buku Tara yang kini berada di genggamannya.
"Aku memang buruk untuk memberi judul." Tara mengakuinya. Diapun menyesap cocktailnya sambil terkekeh.
"Kau tau, kami selalu debat setiap kali dia memberi judul cerita." Nila ikut bergabung. Mereka sudah janjian bertemu di bar untuk merayakan perilisan buku Tara. "Jack bahkan sampai bermimpi buruk."
"Bagaimana aku tidak kesal. Dia membuat judul, Jangan sentuh anakku yang bukan anakmu. Pembantu menggoda majikan gila, Hasratmu pada pakaian dalamku, Buang cintamu ke dalam sumur nestapa." Penjelasan Nila disetujui oleh Jack. Beda hal dengan Rachel yang tersedak minumannya sendiri.
"Eithss.. Aku tidak pernah merasa membuat judul menggelikan itu. Apalagi tidak memiliki estetika." balas Tara setengah mabuk dan masih membela diri. "Waktu itu aku hanya memberi saran dan membuat pendekatan dengan inti ceritanya."
"Direktur bisa menjadi saksi. Tara bahkan sampai bertekad tidak menandatangani kontrak jika bukunya diganti judul." Sergah Jack menunjuk wajah Tara penuh kesal. "Manusia serigala yang diam-diam tidur bersamaku. Namun aku tidak tau."
Rachel semakin terbahak, "Itu terlalu panjang dan aneh, sialan."
"Serigala impianku. Aku menyarankan judul yang seperti itu." Tara menggebrak meja.
"Kau hanya mencoba memangkasnya." Nila menentang dalih Tara dengan ekspresi tersiksa.
"Itu jelek." Rachel dan Jack berceletuk bersamaan.
"Tidak memiliki nilai jual," Nila ikut menimpalinya.
Tara mendesah karena diserang tiga orang sekaligus. Dia menyerah dan menikmati musik live jazz di panggung bar. Kepalanya bersandar di tumpuan tangannya. Hidupnya berjalan dengan baik. Sangat baik sampai Tara merasa ada sesuatu yang aneh. Karirnya meningkat, dia juga sudah mendapatkan teman baik untuk berbagai cerita, di rumah ada Bibi Maurent yang menghilangkan kesepiannya saat sendirian.
"Sepertinya aku ingin pergi kencan buta. Aku ingin merasakan romansa. Bukankah aku terlalu menyedihkan tanpa pacar?" Seruan Tara dibalas anggukan positif dari mereka.
"Lakukan apapun yang kau sukai. Banyak diluaran sana sibuk mencari kenalan pria. Kau tidak sendirian." Rachel mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto pria ke Tara. "Kau ingin aku kenalkan dengannya?"
Tara mengambil ponsel itu, menyeleksi gambaran foto tersebut sedemikian rupa. Karakter wajahnya seperti keturunan Amerika. Kulitnya coklat eksotis dan senyumannya ramah. Tapi Tara seketika tidak merasakan daya tarik yang menggoda.
"Dia salah satu pemilik saham besar smartphone. Dia pengusaha juga dibidang tekstil dan..."
"Tidak. Aku tidak menyukai wajahnya. Dia sepertinya arogan. Aku adalah wanita Alpha."
"Bukankah dia juga Alpha? Dia cukup dominan saat aku bertemu dengannya di pesta penyambutan akhir tahun."
"Alpha bukan tentang dominan atau penguasa. Melainkan dia memiliki jiwa penggerak yang disegani. Setiap langkahnya dia menjadi sorotan bukan karena dia tampan dan kaya raya, tapi dia tampak bisa menggerakan sesuatu hal besar dan berani penuh taruhan. Kepercayaan diri tinggi. Tanpa ragu. Tanpa sombong. Tanpa arogan. Mungkin seperti itu."
Rachel mendengus sebal. Bagaimana bisa Tara mendapatkan kekasih jika penawaran pertama saja sudah di tolak mentah-mentah. Bahkan enggan mencicipinya sedikit. "Kalau begitu, carilah pria Alphamu sendiri."
"Jangan sebal. Aku sudah sangat berterima kasih kau sudah meladeniku." Tara menggandeng tangan Rachel dan bersandar dibahunya. "Aku tidak terburu-buru. Apalagi sudah beberapa bulan kakiku belum juga membaik. Aku tidak tau sampai kapan harus menggunakan kruk ini. Aku malu berkencan dengan kondisi seperti ini." Tara menyuarakan kekhawatirannya.
"Jika ada pria yang menjelekanmu. Pukul saja kepalanya dengan kruk-mu. Biar dia tau rasa." Pembelaan Rachel membuat Tara senang.
Waktu menunjuk tengah malam. Mereka masih menikmati minum bersama dan mendengarkan musik jazz yang nyaman. Tara sudah cukup mabuk, dia mencoba menjaga kesadarannya karena tidak ingin melewatkan momentum ini. Dia menyimpannya sebaik mungkin ke dalam jiwa.
Seorang pria datang menyapa Jack dan Nila. Sempat Tara menoleh sejenak dan pria itu adalah seseorang yang enggan dia temui. Wajah Morrow, sangat membuat Tara menegang.
"Wah.. sudah lama kita tidak bertemu." Jack menjabat tangan pria itu penuh semangat, sampai dia turun dari kursinya.
"Mungkin sudah kurang dua tahun. Bagaimana kabar dia?" Pria itu bertanya pada Jack dengan suara sangat berat.
Tatapan Tara masih luruh ke depan menjauhkan niatnya untuk melihat interaksi mereka. Ekspresinya jauh lebih dingin.
"Dia sudah sangat baik. Kau bisa melihatnya sendiri. Dia bersama kami." Jack mengarahkan pria itu ke Tara.
Tara menarik napas panjang, dia belum mengerti kemana arah pembicaraan ini. Terutama Jack menarik lengannya untuk berjabat tangan dengan pria berwajah Morrow itu. Mata Tara melirik sejenak ke sisi pria itu sambil menunjukkan keengganan untuk bertatap mata.
"Aku benar-benar lupa memberitahumu. Benedict Leighton yang menolongmu saat kecelakaan mobil. Kau sangat beruntung, dan ini membuatku ikut bersyukur. Benedict membuatmu bisa menjalankan operasi gegar otakmu di saat asuransimu bermasalah dan membayar biaya awal rumah sakitmu." Penjelasan Jack membuat telinga Tara berdenging kuat.
Sontak tatapan Tara beralih melekat ke mata pria itu. Kenapa bisa seperti ini?
"Maaf, aku lupa mengenali wajahmu. Kau saat itu sangat terluka parah. Dan sepertinya kita pernah bertemu beberapa bulan lalu di gedung acara tanpa saling mengenal." Pria itu menerima jabatan tangan Tara. Mengamati wajah Tara yang kebingungan, pria itu menjadi prihatin. "Tangamu sangat dingin. Kau baik-baik saja?"
"Aku tidak mengerti kenapa Jack baru memberi tahuku. Aku berhutang nyawa padamu." Terdengar suara Tara begitu gugup. Apakah Tara harus gembira ataukah ini malah semakin menyiksanya? Kenapa menjauh menjadi semakin berat?
"Jangan anggap seperti itu. Aku benar-benar ingin membantumu." Benedict Leighton ikut bergabung duduk di samping Tara. Lagi-lagi wanita itu terlihat kalut setiap mereka bertemu. Wajahnya bersemu merah karena mabuk, pandangannya sayu dan wanita itu seperti berulang kali menghindari tatapan mereka.
Benedict memesan minuman. Sebenarnya dia memiliki urusan lain, ada kolega yang mengajaknya bertemu untuk urusan bisnis. Tapi wanita itu sangat aneh hingga menarik perhatiannya.
"Apa kau sama sekali tidak ingat ketika aku menolongmu?" Benedict membuka telapak tangan kanannya dan mengarahkan ke Tara. "Saat itu jalanan sangat sepi. Aku berkendara mobil jauh di belakangmu. Tiba-tiba sebuah truk melewati lampu merah dan menabrak mobilmu hingga terdorong jauh. Mobilmu remuk, terbalik dan berasap di sudut jalanan. Aku turun dan berlari menghampirimu. Aku mencoba menyingkirkan pecahan kaca mobil supaya bisa melihat keadaanmu. Kau merintih tanpa suara. Itu membuatku ikut gemetaran melihat kondisimu tekulai penuh darah. Aku takut kau akan benar-benar mati. Aku mencoba mengulurkan tangan dan menggenggam tanganmu sekuat mungkin"
Benedict ingat sekali momen itu. Bibir Tara yang pucat, ekspresinya kacau dan putus asa. Mata mereka saling berpandangan satu sama lain membuat Benedict jatuh tenggelam pada kepekatan mata Tara yang bergetar. Apapun caranya dia harus menolongnya.
"Aku takut.. Aku sangat takut..." Ingatan akan suara lemah itu membuat tangan Benedict berubah kaku dan jiwanya terkoyak tanpa alasan.
Bukankah mereka baru pertama kali bertemu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Smooth & Tasty Vanilla [End]
Romance"Pukul satu dini hari, sehari setelah perayaan tahun baru, terjadi sebuah kecelakaan beruntun di sebuah persimpangan Hotel Dupont City, hingga nyaris menewaskan seorang wanita bernama Tara Lipinski berusia dua puluh lima tahun. Berita acara meliput...