Part 41

434 48 0
                                    

Tara merapatkan jaket kulit lusuhnya. Sedetik dia bergeming di depan gedung Empire City Casino. Dia bukan kehilangan kepercayaan diri atas kemegahan serta kekuasaan mengintimidasi dari gedung tersebut.

Dia hanya tidak suka tempat ini.

"Apa anda akan terus diam?" Sebuah tatapan menyelidik dan angkuh diberikan dari seorang pegawai gedung yang tengah berdiri tegap. Dia tidak berhenti memantau sejak Tara turun dari taksi, terlihat miskin, apalagi jaket murahnya menandakan dia berada di kasta terendah..

"Ini kartu identitas saya." Tara menunjukkan tanda pengenal sebagai persyaratan masuk. Tak perlu lama pegawai pria itu memeriksa di komputernya, lalu memucat saat tahu nama Vanilla Flawrate terdaftar di member eksklusif. Dia membuat kesalahan besar.

"Silahkan, kami akan mengantar anda-" Suaranya merendah dan terselip nada gemetar.

"Tidak perlu." Tara menarik kasar kartunya identitasnya. "Cukup beritahu aku, di mana ruangan Morrow Buckland berada. Hari ini aku sudah membuat janji temu dengannya." Setiap kata penuh tekanan.

Pengawal tersebut seketika berkedip cepat, tertegun dengan aura kematian wanita tersebut.

Jelas, dia bukan wanita biasa. Bagaimana mungkin semudah itu bergabung menjadi anggota Empire City Casino? Jika pada dasarnya perlu lebih dari satu juta dollar untuk awal registrasi sekaligus uang deposito. Apalagi untuk bergabung anggota eksklusif.

"Anda bisa naik menggunakan lift khusus di sana. Lift itu akan membawa anda langsung ke lantai tertinggi di gedung ini," pengawal itu mengiringi Tara ke bilik khusus yang sepi dan terdapat lift besar berhias warna keemasan elegan.

Dalam sekali anggukan, pengawal itu mundur perlahan tanpa mengikuti Tara menaiki lift.

Pertaruhan apa yang sedang diperbuat oleh diri Tara? Tara sendiripun tidak mengerti. Dia datang ke tempat menyesakkan ini setelah mendapatkan balasan email dari Morrow. Yang dimana Tara menantikan balasan email itu lebih dari empat bulan setelah mereka tanpa komunikasi, tanpa kabar dan tanpa jejak.

Tara menatap lurus pantulan dirinya di dalam lift. Refleks kegugupannya dia tahan dengan mengatup kuat gigi-gigi. Kacau bercampur rasa menggebu yang hampir pecah.

Hitungan detik serasa melambat, meski lift bergerak cepat melewati banyak lantai. Dan ting... pintu terbuka dengan suasana senyap.

Karpet tebal melapisi lantai koridor. Meski sepatu Tara tidak menggetarkan suara, dia tetap menyadari seseorang menunggu di ujung ruangan.

"Aku tidak bisa bernapas." Keluh Tara berhenti sejenak ketika ingin menekan gagang pintu. Tangannya lainnya sedikit bersandar ke dinding.

Belum sampai satu detik, pintu terbuka dari dalam. Puluhan pria berseragam gelap dan berwajah dingin memenuhi ruangan dengan tekanan kuat. Sedangkan Tara kini berubah tak tergoyahkan.

"Aku tidak tau harus memanggilmu apa. Tara? atau Vanilla?" Suara penuh rasa menjijikan Morrow sengaja dilantangkan.

Pria itu berdiri di samping meja billiard, fokus dengan bidikan bolanya.

Sedangkan kepala Tara sudah diacungkan sebuah pistol di kepalanya dari belakang oleh seorang pengawal.

"Panggil aku Tara," balas Tara mencoba tak bergeming. Benar, dari sebelumnya Morrow tidak pernah memanggil nama aslinya. Karena Morrow selalu tampak marah ketika menyebut namanya.

Morrow menyeringai pahit. "Aku tidak bisa menerimanya. Berulang kali aku mencoba melakukan perhitungan, selalu berakhir aku yang dirugikan. Aku merasa sangat tidak terima. Aku semakin dendam padamu dan aku ingin membunuhmu. Aku pantas mendapatkan bayarannya."

Jauh di dalam mata Tara, dia mengerti betapa pria itu gelisah dan menjadi sekacau ini. Tubuhnya lebih kurus, wajah serta bibirnya pucat dan tatapannya luar biasa letih. Mereka sama-sama menderita.

"Penderitaan panjangku selalu menjadi mimpi terburuk. Kau belum pernah merasakannya ketika sebuah alat pancung berada diatas kepalamu? Atau sebuah pisau yang ingin memutus satu persatu jarimu."

Morrow mengambil sebotol wiski, meneguknya kuat tanpa peduli seberapa keras kadar alkoholnya. Kemudian melempar keras botol itu ke hadapan Tara. Dia semakin mau menunjukkan kekesalannya.

"Sebanyak apapun aku ingin membunuhku, aku seperti tidak bisa melakukan itu."

"Kau sangat pecundang." Tara menjawab telak. "Dari awalaku sudah tau itu. Bagaimanapun perasaan Vanilla mengoyak diriku, dia tetap menjadi buta." Dia yang sekarang adalah Tara.

Keheningan dipecahkan oleh kikik tawa menyedihkan Tara. "Tenang saja, sebentar lagi ada yang menjemput kematianku."

Rasa getir pahit diujung lidah Tara. "Aku sudah lelah untuk marah dan menutut takdirku yang seperti ini. Kalau kau mengira aku tidak mengerti penderitaanmu, sepertinya kau salah. Sebaliknya, jika kau berada di posisiku, kau mungkin memilih mati dengan menembak kepalamu sendiri sejak awal cerita."

Tara menutupi jarak mereka. Tangannya dengan berani menyentuh wajah Morrow yang berekspresi menyedihkan. Tara melanjutkan celotehannya, "Aku tidak berencana mengadu siapa yang paling menderita di antara kita. Tapi aku berharap semua ini berakhir seperti mimpi panjang. Aku sungguh ingin pulang."

Semakin dirinya di dorong jauh oleh kemarahan Morrow, perasaan Vanilla di jiwa Tara kian bergejolak tajam. Kerinduan yang sangat dalam menjadikan Tara terus gemetar. Keinginannya adalah menarik pria itu lalu memeluknya sambil menangis sendu.

Kegilaan yang semakin tidak terkendali.

Sikap Morrow jauh sekali dari biasanya. Seolah, alur mulai membawa kepada klimaks cerita, dimana banyak konflik satu persatu pecah. Sedikitpun Tara tidak akan menyalahkan Morrow.

Tarapun menarik kursi di dekatnya. Berencana menetap di sini sebentar lagi. "Setelah ini mungkin kita tidak akan saling bertemu. Jadi..." Tara memberi isyarat lirikan ke para bodyguard supaya mereka keluar dari tempat ini dan meninggalkan mereka berdua.

"Jadi bisakah kita bercinta untuk terakhir kalinya," ucapan Tara seperti wanita murahan yang mengemis cinta. Bahkan beberapa dari bodyguard melenguh remeh.

Semakin sulit membela diri ketika Morrow mengeluarkan pistol dari saku dalam jaketnya, mengaktifkannya lalu mengarakan ke jantung Tara. Atmosfir menjadi pekat oleh arti tatapan Morrow. Menggelikan, memuakkan dan dendam.

"Aku tidak memintamu untuk menghapus kebencianmu bahkan untuk setitikpun. Aku yang payah, mana mungkin mampu mengubah hatimu." lanjut Tara membuat semua terbius lembut. Entah suaranya yang bergetar atau dia seperti memberikan pesan mendalam.

"Kita sama-sama tidak baik-baik saja. Tapi aku berharap bisa sedikit bernapas. Perasaan Vanilla semakin menyesakkanku di setiap harinya. Dia sangat terobsesi padamu lebih dari bayanganmu. Sangat pedih setiap merindukanmu. Aku berulang kali bermimpi bercinta denganmu. Ya, ini memalukan. Bukan percintaan penuh nafsu. Melainkan sangat menyesakan hati. Jujur, aku selalu bersumpah untuk tidak menggangumu atau bertemu denganmu lagi. Aku tau seberapa bencinya dirimu padaku. Aku.."

Pandangan Tara menatap ke langit-langit atas, menahan air mata hangat yang sebisa mungkin dia bendung.

"Bagaimana cara aku bisa memohon padanya?" Tara berbicara pada dirinya. Dia memukul kuat pangkuannya.

"Satu pelukan. Aku ingin satu pelukan dan memintamu menahan kebencian selama sepuluh detik saja," bujuk Tara.

Cukup lama mereka saling terdiam beradu pandangan. Sayangnya Tara tak kuasa menahan diri, dia bangkit mendekati Morrow lalu memeluknya erat sambil meremas punggung pakaian Morrow. Ini kesempatan berharga untuk menghirup aroma pria itu sedalam mungkin dan kecamuk jiwa sakit Vanilla mereda tenang.

Tanpa sadar, senggukan dan deru napas keras Tara pecah. Sepuluh detik itu berlalu lambat sekaligus cepat. Pelukan itupun terlepas. Sedangkan jarak antara mereka tetap lekat. "Jika terdapat alur cerita lainnya, aku akan membuatmu tidak semenderita ini. Kau akan bertemu dengan kekasih yang mencintaimu dan kau mencintainya. Kau akan memiliki kekuatan untuk membalas orang-orang yang menyakitimu. Dan kau tidak akan takut lagi untuk bahagia."

Jangan bosan-bosan menanti kelanjutan cerita ini.

Smooth & Tasty Vanilla [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang