Deg...
Jantung Tara terhantam kuat membuat kedua matanya sontak terbelalak. Napas Tara ikut tersengal hebat usai melewati momen mengerikan.
"Morrow.. "
Ya... Tara menyadari satu hal bahwa dia tengah berada di apartemen reyot milik Vanilla, sedang merebahkan diri di atas ranjang bergelung dengan selimut tipis sambil memandang ke arah jam dinding yang menunjuk pukul lima sore.
Tara mendesah keras, hatinya amat lelah. Tragedi kematian Morrow adalah mimpi buruk yang nyata. Lebih baik sejak awal ia tidak bertemu pria itu, menerima ajakan makan malamnya kemudian tinggal bersama. Seharusnya ia biarkan dirinya sendiri merasakan kepedihan Vanilla lalu membuang seluruh rasa penasarannya terhadap Morrow. Karena akibat dari itu semua, Morrow menetap di kota ini dan membatalkan rencana pulang ke negaranya, hingga alur takdir mengarah Morrow pada kematian. Semua adalah salahnya!
Benar apa kata Morrow, bukan seperti ini jalan ceritanya yang sebenarnya..
Tangisan Tara sudah mengering, tertinggal hanyalah pandangan kosong. Benaknya masih berharap ingin melihat pria itu lagi untuk terakhir kalinya.
Dengan langkah berat, Tara mengambil sebuah dompet lalu beranjak ke lobby untuk menghentikan sebuah taksi kemudian menuju ke hotel tempat Morrow berada.
Tara sadar dia sedang diberikan kesempatan lagi dari Tuhan sebab waktu menariknya mundur ke tanggal lima belas Januari, tepat sepuluh hari sebelum kematian Morrow hari dimana pria itu untuk pertama kalinya mengajaknya makan malam dan belum mengetahui jati dirinya yang sesunguhnya. Tara tidak peduli lagi apa maksud terselubung dari semua ini. Yang terpenting adalah ia masih diberikan kesempatan .
Sampai ditujuan, Tara bergegas ke kamar hotel Morrow. Tapi ketika ia memasukkan kode di pintu hotel, ternyata pasword yang pernah ia ingat adalah salah, dan setelah berulang kali bel hotel ia tekan, tak ada jawaban. Mungkin pria itu sedang keluar, pikir Tara begitu. Akhirnya Tara memutuskan menunggu pria tersebut. Memilih terduduk di lantai koridor seorang diri sampai pukul sembilan malam.
***
Morrow menegak segelas brandy sambil mendengarkan salah seorang informan berbicara mengenai salah seorang tersangka pembunuhan Ken.
"Eric Boston, pewaris utama Boston Company. Dia memiliki perusahaan entertainment, industri musik, perhotelan, akademik dan sebuah sekolah. Dia terlibat dalam berbagai acara amal dengan donasi tinggi. Dia salah satu pengaruh besar alasan kenapa kasusmu ditutup secara cepat."
"Karena itu sangat mempengaruhi reputasinya. Tak pernah satupun berita yang menyatakan dia pernah terlibat skandal, dan kasus kematian Ken benar-benar nyaris menhancurkannya." Balas Morrow.
"Dia juga memberikan sejumlah uang tutup mulut pada ayahmu. Dan kupikir kau lebih baik tidak berurusan dengannya. Dia berbahaya. Dia memiliki bisnis ilegal, meski begitu dia sangat dilindungi oleh pemerintah."
"Aku tidak akan menyerah, apalagi mati dengan mudah." Morrow menjawab dengan pandangan kelam. Keadaan membuatnya terpaksa bergelut pada salah seorang Mentoris gila dari Kolombia sejak dia masih dipenjara. Lalu menjadikan Morrow seorang mafia. Morrow sadar bahwa dirinya memang tidak pantas menjalani kehidupan normal setelah berbagai kejadian buruk yang sudah ia lewati, namun dia juga tidak layak menyandang sebutan mafia karena tak pernah sekalipun dia menarik pelatuk pistolnya untuk membunuh orang. Rekan lainnya menyebutnya pecundang, meski begitu pemimpin Mentoris-Ervo Bullfighter tetap mengangkatnya menjadi orang kepercayaan.
Morrow menghabiskan brandynya kemudian meninggalkan informan itu. Memang baru sekarang dia mencari siapa dalang kematian Ken sebab dia sedang dibebas tugaskan dari tuan Ervo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smooth & Tasty Vanilla [End]
Roman d'amour"Pukul satu dini hari, sehari setelah perayaan tahun baru, terjadi sebuah kecelakaan beruntun di sebuah persimpangan Hotel Dupont City, hingga nyaris menewaskan seorang wanita bernama Tara Lipinski berusia dua puluh lima tahun. Berita acara meliput...