Perjalanan ditempuh dalam tiga jam. Tidak ada yang menyangka hal itu, sedangkan Rachel kini tampak santai beristirahat di rest area sambil mengisi bahan bakar mobilnya.
Pengawal Tara yang kesabarannya mulai turun, muali melangkah keluar dari mobilnya. Lalu menghampiri Rachel untuk berkata "Seharusnya kau mengatakan sejauh mana perjalan ini. Apalagi sudah pukul sembilan malam. Ini terlalu larut untuk wanita hamil." Calix Windsor sudah pasrah akan menerima amukan bosnya-Benedict. Firasat dia sudah buruk terhadap Rachel sejak awal, si wanita penggerutu.
"Tenang saja. Kediaman nenek dan orang tuaku sudah cukup dekat. Tapi aku ingin beristirahat sebentar." Pandangan Rachel terlempar ke arah mini market yang menyajikan kedai kopi. "Sebaiknya kau juga ikut. Ada yang mau aku sampaikan."
Rachel kembali masuk ke dalam mobil, ia sejenak mengamati Tara masih terlelap di kursi penumpang.
Rachel kira, Tara akan mengubur semua kisah tentang Vanilla. Karena itu pilihan terbaik, tetapi sayangnya sosok Vanilla hingga sekarang belum berhenti menghantui.
Mobil Rachel terparkir rapih di depan mini market, dia lekas membeli segelas kopi espresso panas untuk menghangatkan diri dan membuat matanya lebih segar. Karena saat ini dia harus menahan diri untuk tidak merokok.
Calix menyusul, dia cukup terkejut Rachel juga membelikannya segelas kopi untuknya.
"Aku memang sengaja tidak mengatakan kalau perjalanan kita cukup panjang. Dan aku sengaja mengatur kecepatan normal saat berkendara." Intonasi Rachel berubah rendah. Bahkan dia tidak terpancing marah saat melihat Calix kesal padanya.
Calix mulai sulit menebak apa sebenarnya jalan pikiran Rachel. Walaupun sebelumnya mereka pernah terhubung oleh satu insiden tertentu. Hingga mereka pantas saling bermusuhan.
"Mungkin kau sudah tahu jika Tara masih dalam kondisi jiwa yang tidak stabil. Ini bukan tanpa alasan. Aku sudah kenal dirinya beberapa tahun sebelum dia mengalami kecelakaan. Dia yang sekarang jauh sekali dari sosok yang aku kenal." Rachel tersenyum getir. Tara memang menjadi pesaing sekaligus penyemangat dalam karirnya. Namun mengetahui kecelakaan itu nyaris merenggang nyawa Tara. Rachel tidak mungkin akan membiarkan Tara terjebak dalam delusi yang panjang.
"Tara hanya ingin hidup tenang. Dan untuk saat ini dia butuh mendapatkan jawaban penting. Jadi.." Tangan Rachel menepuk pundak Calix. "Dia akan tinggal selama beberapa hari di rumah nenekku untuk penyembuhan. Kau harus mengatakan itu pada bosmu."
Bencana. Calix sangat membenci senyuman penyihir di depannya.
"Aku tahu, Benedict bukanlah pria biasa yang mudah diajak berdiskusi. Tapi aku harap kau dapat membujuknya untuk tidak bertemu Tara sementara waktu." Rachel mengandalkan Calix. "Nenekku akan menyediakan paviliun belakang untuk kau dan pengawal lainnya bisa beristirahat. Sekaligus tetap menjaga Tara."
Calix menarik napas panjang karena diambang desakan. Intuasinya mengatakan bahwa Rachel sangat serius dengan ucapannya. "Kalau begitu aku membutuhkan sebuah alasan yang bisa membuat seorang Benedict memilih mengalah dan mendengarkan." Ia harus mengenal resiko dan konsekuensi yang ada.
Rachel bergumam. Lebih tepatnya, ia butuh kalimat yang bisa menampar hati Benedict. "Katakan padanya. Tara sedang mengalami kondisi yaitu mati secara perlahan. Mungkin ini sama menyakitkannya dengan bunuh diri. Aku sungguh ingin menolongnya. Semua orang disekitar Tara juga ingin menolongnya. Dulu ketika muda, nenekku mengalami kondisi yang sama buruknya dengan Tara." suara Rachel semakin rendah.
Calix mengamati dengan lekat. Ekspresi itu sulit diterjemahkan oleh kata-kata, kecuali dia merasakan fenomena unik. Sesaat Calix menahan napasnya mendengar lanjutan kalimat Rachel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smooth & Tasty Vanilla [End]
Romance"Pukul satu dini hari, sehari setelah perayaan tahun baru, terjadi sebuah kecelakaan beruntun di sebuah persimpangan Hotel Dupont City, hingga nyaris menewaskan seorang wanita bernama Tara Lipinski berusia dua puluh lima tahun. Berita acara meliput...