Pagi-pagi Tara berkunjung ke hotel tempat Morrow berada. Ia tidak lupa membawa tas berisi laptopnya, juga beberapa camilan keju yang ia beli di toko kue.
Bisa dibilang Tara dalam keadaan baik. Ia bahkan memakai sweater lembut berpadu dengan celana jeans dan jaket senada. Tampilannya memang biasa, namun orang disekitarnya bisa merasakan kehangatan dari senyuman tipisnya. Well, ia sekarang sedang duduk di atas sofa sambil melihat Morrow yang bergerak mendekatinya.
Rambut Morrow terlihat berantakan, wajahnya kusut seperti melewati malam yang berat. "Kukira kau tidak mau menemuiku lagi." Morrow duduk di sebelah Vanilla, kemudian merengkuh pinggangnya.
Kemarin ponsel wanita itu mati, bahkan pesan dan panggilan telepon darinya tidak terjawab. Ketika Morrow memilih menghampiri apartemennya, wanita itu ternyata sedang pergi. Dia jadi penasaran semalam wanita itu tidur dimana?
Tara diam beberapa saat lalu membelai rambut Morrow meski agak ragu. Rambut Morrow hitam, halus dan sedikit ikal, aroma maskulin dari shampo yang pria itu gunakan terasa lumayan. "Aku sulit untuk tidak menemui. Kau sudah tau itu. Dan semalam aku hanya mencoba lagi apakah aku mampu sendirian tanpamu?"
"Ternyata tidak," Morrow menggeliat saat mencium aroma Vanilla. Menyenangkan bisa merasakan itu di pagi hari.
"Salah. Aku bisa menahannya selama dua puluh jam dari terakhir kita bertemu. Lagi pula selama ini aku pernah melewati hampir itu hampir dua tahun dan mungkin aku bisa bertahan lima tahun hingga sepuluh tahun ke depan jika kau tidak tiba-tiba muncul dihadapanku lagi lalu aku akan menyerah kemudian bisa melupakanmu." Tara tersenyum. Dia bisa melihat Morrow sedang memikirkan ucapannya.
"Apa kau sangat ingin melupakanku?" Ada getir kesedihan walaupun nyaris tak terdengar. Morrow memberi tatapan kaku dan secepatnya ingin keluar dari percakapan ini.
"Entahlah. Jika kau menyuruhku untuk pergi dan melupakanmu. Aku tidak bisa berbuat apapun." Ucapan itu berasal dari hati Vanilla. Tara baru mengerti bahwa Vanilla bukan tidak ingin berjuang tetapi wanita itu sulit memaksakan kehendak. Morrow adalah belahan jiwanya, sebagai kekasih dia mengutamakan kebahagiaan orang yang dikasih. Namun Tara akan bekerja keras untuk mendapatkan Morrow seutuhnya, bukankah itu keinginan terbesar Vanilla. Dia percaya sebuah keajaiban cinta, sebab dirinya ada disini merupakan keajaiban luar biasa.
Tara merengkuh leher Morrow kemudian mengecup keningnya. "Sebaiknya kau mandi lalu sarapan, aku akan mengajakmu pergi." Ini bagian dari rencana. Bukankah pria merasa sedikit senang jika wanita mengawali sesuatu lebih dulu? Sang pria seperti dibutuhkan.
"Kemana?" Morrow mengerutkan keningnya, jarang bahkan belum pernah Vanilla mencoba mengajaknya pergi.
"Menjenguk temanku di rumah sakit lalu kita akan berkunjung ke sebuah pameran buku. Aku tidak tau apa yang kau suka, dan kuharap kau bisa bersabar untukku. Oh ya, apa kau punya acara hari ini?" Tara mendapatkan email dari Jake bahwa ada pameran buku tahunan yang merupakan acara cukup besar.
"Apa kau ingin tinggal bersamaku? Aku tidak keberatan membantumu pindahan dan bersabar untukmu."
"Kenapa kau tiba-tiba berpikiran seperti itu?" Tara terkekeh pelan. Pertanyaan itu seperti lelucon.
Morrow kembali terduduk, ia menarik tubuh Vanilla mendekat ke sisinya. "Kenapa? Kau tidak suka itu. Jika kau tanya apakah aku akan menyuruhmu pergi, lebih baik lupakan pemikiran itu."
Tara semakin ingin tertawa, "apa kau mengharapkanku?"
"Ya." Tara memandang ke dalam mata pekat Morrow, pria itu sangat serius dan tidak terlibat penyesalan atas masa lalu yang pernah dilakukannya pada Vanilla. Ini lebih kepada tanggung jawab yang besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smooth & Tasty Vanilla [End]
Romance"Pukul satu dini hari, sehari setelah perayaan tahun baru, terjadi sebuah kecelakaan beruntun di sebuah persimpangan Hotel Dupont City, hingga nyaris menewaskan seorang wanita bernama Tara Lipinski berusia dua puluh lima tahun. Berita acara meliput...