"Lo bisa pulang, Wo."
Dewo menoleh, menatap perempuan cantik itu dalam. Tangannya menutup pintu ruangan yang baru ia masuki. Gadis itu, matanya menghitam, rambutnya terlihat berantakan, tatapan itu kosong kala tubuhnya mendekati Dewo.
Dewo menggeleng, memenuhi pernyataan itu. "Gimana bisa?" Lanjutnya.
"Gue di sini baik-baik aja."
Dewo membenarkan posisi berdirinya. "Nggak, lo sedang gak baik-baik aja, Anne."
Anne mengembuskan napasnya. "Lo di sini khawatirin gue, tapi gimana Arumi di sana? Dia pasti kebingungan, Wo. Dia pasti khawatir sama lo."
"Gue baik-baik aja, Anne."
Anne benar-benar tidak habis pikir dengan lelaki di hadapannya. Kemudian tangannya melayang, memberikan satu jitakan kecil di puncak kepala Dewo. "Arumi khawatir sama lo, tapi lo gak ada rasa perhatian ke dia?"
Dewo mengusap kepala yang menjadi sasaran Anne, kemudian alisnya bertaut.
"Ada lo telepon dia? Ada lo kasih kabar? Selama ini lo gak pulang ke rumah kan? Lo cuma balik ke studio." Interogasi Anne beruntun membuat Dewo menghela napas pasrah.
"Dia baik-baik aja, Anne. Yang harus dikhawarin tuh lo."
"Kenapa lo harus khawatirin orang lain selagi ada orang yang khawatirin lo di rumah? Arumi di rumah pasti khawatir, Wo. Emang dia baik-baik aja secara fisik, tapi kita gak tau apa yang dia rasa, khawatirin orang lain itu butuh tenaga dan pikiran."
Dewo terdiam. Tak lama kemudian kakinya melangkah cepat menyusuri koridor.
"Dewo!"
Lelaki itu menoleh.
Anne menghampiri sambil tangannya meronggoh kantung cardigan yang dikenakannya. "Pake mobil gue. Sekarang udah malem, bawanya yang hati-hati, ya."
"Thanks, Anne."
.
.
.
Arumi terkejut saat membuka pintu, melihat Dewo di hadapannya serasa mimpi sesaat. Napasnya yang terengah, kemejanya yang keluaran, dan rambutnya yang berantakan tidak menghilangkan ketampanan lelaki itu. Namun kata yang terbesit saat semua itu tertangkap matanya, Arumi hanya mampu membatin, "pulang, ya?"
Bagaimana tidak? Hari ini tepat satu pekan Dewo tidak pulang. Namun, malamnya Dewo muncul dihadapan Arumi seperti mimpi.
Dewo membeku. Rambut Arumi yang sedikit terlepas dari ikatannya membuat tangan Dewo tanpa sadar menyingkapnya ke belakang telinga Arumi. "Gue minta maaf."
Kalimat itu bagaikan menghipnotis Arumi lebih dari apapun. Sayup-sayup angin pun tak mampu membuatnya tersadar dan begitu saja melepaskan genangan air yang telah lama mengumpul.
Arumi menangis. Air matanya mengalir begitu saja. Membuat lelaki di depannya membulatkan mata dan kebingungan.
"Kok nangis?" Dewo menggaruk kepalanya frustasi. "Jangan nangis, dong."
Arumi menghapus jejak air mata di pipinya, walaupun percuma karena jejak itu terus dialiri oleh air matanya. Hingga tanpa sadar dua tangan besar menangkup wajahnya, memberikan kenyamanan lebih dan perlahan si ibu jari ikut membantunya menghapus jejak-jejak itu.
"Gue minta maaf, udah ya, jangan nangis."
.
.
.Test!
Update lagi!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Life | Yoon Dowoon
Fiksi Penggemar[slow...] Katanya menikah adalah menghabiskan sisa hidup bersama pasangan yang kita cintai. Namun, bagaimana jika menikah dan menghabiskan sisa hidup bersama seseorang yang tidak kita cintai? Bahkan tidak mengenalnya? ©dadancow