05. Sunset Smile

187 5 0
                                    

Senggani akhirnya tiba di fitness center tempatnya membuat janji dengan Linera. Di ruang ganti, Senggani menumpahkan segala keluh kesahnya kepada Linera seputar kejadian apes yang dia hadapi saat ini.

"Makanya jadi orang itu jangan suka cepat mengambil kesimpulan. Untung aja lo nggak sempat teriakin, tuh, cowok copet. Bisa-bisa cowok itu dikeroyok orang tanpa tahu salahnya apa. Terus kalau sampai dia nggak terima, lo bisa dilaporin polisi tahu!" terang Linera sambil memakai kaus kakinya.

"Ya, habis penampilannya kayak gitu. Lo juga kalau ketemu dia pasti langsung negative thinking kayak gue, deh. Lo bayangin aja udah rambutnya gondrong, mukanya butek, matanya merah kayak lagi mabuk gitu, dan tatapan matanya itu kayak mau nelan orang tahu nggak, sih. Mirip premanlah pokoknya!" Senggani bergidik sendiri membayangkan lagi sosok lelaki gondrong yang dia temui tadi.

"Nggak semua cowok gondrong itu berarti preman atau sejenisnya. Jangan suka pukul rata orang kayak gitu, ah!" protes Linera.

"Ya terus gimana, dong? Gue udah telanjur nge-judge bahwa orang-orang kayak mereka itu, ya, orang-orang yang 'begitu'. Dan setahu gue orang Indonesia pun masih berpikiran sama, kalau ketemu orang yang modelnya kayak dia itu. Itu udah jadi stigma di masyarakat dan susah untuk diubah. Iya nggak, sih?" Senggani meminta persetujuan sahabatnya.

"Whatever-lah sama pandangan lo dan stigma masyarakat. Yang jelas gue prihatin sama orang-orang kayak dia, di-judge negatif hanya berdasarkan penampilan luarnya aja tanpa mau mengenal lebih jauh lagi orang tersebut. Siapa tahu, kan, malah orang-orang kayak dia yang justru lebih bisa memanusiakan manusia itu sendiri dibanding kita."

Dahi Senggani mengernyit. "Wait ... kok, lo malah kayak yang emosi gitu, sih, Lin? Kita, kan, lagi ngomongin orang yang nggak kita kenal." Senggani bisa menangkap nada ketidaksukaan pada kalimat Linera barusan.

"Sorry, ya, Gani, tapi gue jadi ingat aja sama salah satu teman gue di kantor. Dia juga sering banget dapat respons negatif gitu dari anak-anak. Mungkin karena dia pernah masuk penjara kali, ya, jadi sampai sekarang agak susah gitu buat nyariin dia partner baru untuk liputan. Kebanyakan reporter di tempat gue pada nolak semua kalau gue suruh partneran sama dia. Kasihan gue, padahal orangnya baik banget. Sumpah."

"Ya nggak bisa disalahin juga, sih, kalau orang-orang pada menghindar dari teman lo itu, namanya juga stigma masyarakat. Pasti pikirannya langsung macam-macam, deh, waktu dengar soal penjara."

"Iya, sih, gue cuma menyayangkan aja. Gara-gara cinta buta bikin dia harus sampai di bui. Ya walaupun nggak lama cuma seminggu kalau nggak salah, tapi tetap aja berakibat fatal sampai sekarang." Linera kembali bercerita.

"Emang dia ngapain sampai di penjara seminggu?" Senggani penasaran.

Linera menengok kanan-kiri lalu berbisik ke telinga Senggani. "Katanya dia menghamili anak orang, terus ceweknya dibawa kabur gara-gara nggak direstui sama orang tua ceweknya itu."

Senggani melongo tak percaya. "Serius lo?"

"Kata orang, sih. Nah orang tua cewek itu nggak terima anak gadisnya dibawa lari akhirnya laporin dia ke polisi, tapi karena nggak terbukti bahwa teman gue itu yang bawa kabur anaknya akhirnya dia dibebasin."

"Terus sekarang mereka dinikahin?" Senggani antusias.

"Nikah apanya? Justru ceweknya malah ngilang. Nggak pulang-pulang! Nggak tahu pergi ke mana. Itu yang bikin gue prihatin sama dia, gara-gara gosip ini bikin dia susah dapat cewek sampai sekarang. Padahal dia itu ganteng, lho, coba gue belum punya Rico gue juga mau sama dia." Linera senyum-senyum sendiri.

"Heh, ingat masa lalu dia! Kayaknya bukan cowok baik-baik, deh. Buktinya hamili anak orang nggak ada rasa tanggung jawabnya sama sekali. Kasihan ceweknya, kan?"

A Love to Him (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang