42. Pamit

64 5 0
                                    

Hari ini adalah hari kepulangan Mama dari rumah sakit. Mahesa datang untuk menengok sekaligus membantu Mama membereskan barang-barang. Begitu akan meraih pegangan pintu kamar VIP itu, telinga Mahesa mendengar suara Papa yang sedang sibuk bertelepon ria dengan koleganya.

"Iya, saya lagi nggak di kantor. Istri saya pulang hari ini dari rumah sakit. Hendra juga hari ini maksa pulang dia. Makanya saya nggak sempat ke kantor, ngurus dua pasien soalnya. Hahaha ...," suara Papa begitu nyaring terdengar hingga keluar kamar.

"Sebetulnya Hendra masih kurang begitu sehat. Cuma dia akan segera tunangan makanya dia mau pulang cepat, supaya bisa ikut menyiapkan acara pertunangannya itu katanya. Namanya orang tua, ya, ikut saja kemauan anak," sambung Papa lagi.

Mendengar kata 'pertunangan' membuat jantung Mahesa berdetak cepat, seperti sedang menaiki roller coaster yang menghantamkan tubuhnya dalam sekejap hingga luluh lantak. Akhirnya niatan Hendra terlaksana juga, memiliki Senggani tinggal selangkah lagi baginya. Mahesa urung masuk, dia sekarang malah duduk termenung di kursi tunggu depan kamar VIP. Dia sudah kalah telak. Bak permainan catur dia sudah disekakmat!

Pintu terbuka dan keluarlah Papa yang hendak menengok kamar Hendra yang juga sedang bersiap pulang. Saat mata membentur sosok anak tirinya itu, raut bahagia Papa karena pertunangan Hendra langsung sirna.

"Mau apa kamu kemari?"

Mahesa bangkit dan mensejajarkan tinggi. "Saya mau menemui ibu kandung saya," jawabnya tak kalah tajam.

Papa tersenyum sinis. "Jangan lupa orang yang kamu sebut ibu kandung itu masih istri sah saya."

Mahesa yang kalah berdebat hanya bisa diam sambil terus menatap mata Papa seolah menantang, sampai Bi Umi asisten rumah tangga mereka memanggil Mahesa.

"Mas, dipanggil Ibu suruh masuk."

Tak mau memperpanjang urusan, Mahesa melangkah masuk ke dalam kamar meninggalkan Papa yang masih berdiri di tempat.


***


"Apa yang belum selesai, Ma?" tanya Mahesa begitu masuk dan mendapati Mama sudah ada di kursi roda dibantu Bi Umi yang sedang membereskan barang-barang.

"Nggak ada. Sudah beres semua sama Bi Umi, kok. Kamu ke sini untuk antar Mama pulang atau karena ada hal lain?"

Mahesa berjongkok dan menggenggam tangan Mama. "Kalau Mama izinkan ... aku mau ke Tambora, mau napak tilas jejak Ayah. Setelahnya aku mau ke Jepara untuk ziarah ke makam Ayah, Ma."

Mama menatap lekat Mahesa lalu dengan isyarat mata menyuruh Bi Umi keluar agar tak mengganggu pembicaraan pribadi antara mereka.

"Untuk apa kamu pergi ke sana?" Mama mulai bicara setelah memastikan asistennya itu pergi.

"Kalau di masa lalu Ayah gagal menjalankan misinya mendaki sampai Puncak Tambora, biar misi itu aku yang selesaikan. Sebagai anak aku harus ziarah ke makamnya Ayah, sebagai wujud bakti yang belum pernah aku lakukan. Aku minta restu dari Mama semoga perjalananku kali ini berhasil," ucapnya sambil bersimpuh mencium tangan Mama.

Mama tak kuasa menahan tangis. Dikecup puncak kepala Mahesa dan dielus punggung kokoh itu sebagai bentuk restu atas niatan putranya.

"Kapan kamu berangkat?"

"Besok pagi, Ma."

"Kenapa buru-buru sekali, Sa? Apa nggak bisa kamu tunda dua atau tiga hari?"

Mahesa hanya menggeleng sambil tersenyum pahit. Senyuman yang ditangkap Mama sebagai sinyal bahwa putranya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja dan kepergiannya kali ini membawa alasan tertentu selain alasan yang dia utarakan tadi.

"Rencana kepergian kamu ini nggak ada hubungannya dengan pertunangan Hendra, kan?"

Mahesa tak mengira jika Mama bisa dengan sangat tepat menerka apa yang ada di hatinya. Ya, setelah mendengar apa yang Papa ucapkan tadi di telepon, membuat alasan Mahesa untuk pergi melakukan perjalanan menjadi semakin bulat. Pertunangan Senggani dan Mahendra adalah salah satu alasan mengapa dia harus tetap pergi.

"Jangan kamu kira Mama nggak tahu apa-apa, naluri seorang ibu itu tajam apalagi menyangkut anak-anaknya. Maafkan Mama, Sa, karena ketidakberdayaan Mama membuat kamu dalam situasi yang sulit. Posisi Mama terjepit di antara kalian berdua, Mama nggak bisa memilih salah satu di antara kalian." Mata Mama mulai berkaca-kaca.

"Mama juga ingin melihat kamu bahagia dengan gadis pilihanmu, tapi Mama juga nggak bisa melihat Hendra menderita. Begitu pun sebaliknya, karena gadis yang kalian cintai itu sama. Kalian berdua lagi-lagi membuat Mama di posisi serba salah." Lelehan air mata Mama sudah tak terbendung.

"Maafkan aku, Ma. Aku selalu mengecewakan Mama, tapi Mama nggak usah khawatir lagi. Karena aku sudah memutuskan untuk mundur dan memberi kesempatan Hendra untuk bahagia kali ini," ucapnya lirih diiringi rasa sakit dalam hati.

Mama yang bisa merasakan kesedihan putranya, memeluk Mahesa dengan erat sambil mengelus rambut gondrongnya. "Sudah terlalu banyak kamu mengalah, Nak. Mama selalu berdoa, semoga kamu juga bisa bahagia suatu saat nanti."

Pelukan yang cukup lama itu terlepas, Mama mengusap air matanya sambil memandang Mahesa. "Mama kasih alamat rumah almarhum ayah kamu di Jepara, ya, supaya kamu bisa bertemu dengan sanak famili di sana."

Mahesa menggeleng. "Nggak usah. Mereka mungkin nggak pernah tahu kalau aku ada di dunia, Ma."

Mama mengusap kepala Mahesa. Kalimat yang baru saja meluncur dari mulut Mahesa itu serupa sembilu yang menyayat hati Mama. "Maaf karena kamu harus punya ibu seperti ini."


***


Mahesa berjalan menuju parkiran motor saat seseorang memanggil namanya. Begitu menoleh, ternyata Papa dengan langkah tergesa datang menghampiri. Keduanya sempat terdiam sejenak, atmosfer dingin menyelimuti kebekuan di antara mereka berdua hingga akhirnya Papa memeluk anak tirinya itu dan menepuk-nepuk punggung Mahesa.

"Semoga perjalanan napak tilas jejak ayahmu berhasil, Nak. Semoga kamu bisa mewakili ayahmu untuk sampai di Puncak Tambora dan melihat kalderanya yang luar biasa indah yang belum sempat disaksikan secara langsung olehnya," ucap Papa tak terduga setelah pelukannya terlepas.

"Saya bangga dan beruntung bisa merawat kamu, Sa. Wira juga tentu sangat bangga bisa mempunyai anak seperti kamu. Kalau kamu sudah bertemu dengan Wira, sampaikan salam saya untuknya. Dia masih menjadi sahabat terbaik saya selama-lamanya."

Mata Mahesa memerah. Coba untuk ditahan pun, bendungan air mata itu terlalu kuat untuk dia lawan. Air mata Mahesa merebas mendengar setiap kalimat yang Papa ucapkan.

"Dan maafkan saya atas semua sikap keras saya selama ini pada kamu. Saya melarang kamu untuk menjadi pendaki karena saya tidak mau apa yang menimpa ayahmu terjadi juga padamu. Meskipun kamu bukan anak kandung saya, tapi saya menyayangi kamu seperti anak kandung saya sendiri. Itu benar, Sa."

Papa tak bisa menahan haru lagi saat mengucapkan kata bahwa dia menyayangi Mahesa. Itu fakta yang selama ini dia simpan sendiri. Didikan kerasnya terhadap Mahesa semata-mata dilakukan demi menjaga anak itu dari bahaya yang bisa saja menimpa seperti yang terjadi pada mendiang sahabatnya dulu.

Rasa bersalah atas kematian Wira masih menggelayut di batinnya hingga kini. Secara tidak langsung, dia yang telah mengirim Wira untuk menjemput kematiannya sendiri di Tambora. Penyesalan yang masih membuatnya dihantui rasa bersalah hingga harus mendikte Mahesa sedemikian kerasnya.

Melarang Mahesa untuk mencintai gunung seperti Wira adalah caranya menjaga Mahesa agar anak itu selalu aman dan sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap janji yang pernah dia ucapkan di hadapan sahabatnya itu bahwa dia senantiasa akan menjaga Mahesa.

Mahesa yang tak menyangka mendengar kata-kata itu dari mulut Papa langsung menghambur memeluk orang yang sudah merawatnya sejak kecil dan menciumi punggung tangan Papa. Kemarahan yang selama ini terpendam pun lebur bersama mencairnya ego masing-masing. Fakta bahwa mereka tetap saling menyayangi satu sama lain adalah hal yang tak terbantahkan.


***

A Love to Him (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang