44. Jejak di Tambora

68 6 0
                                    

Mahesa Barata baru saja menjejakkan kakinya di Desa Pancasila, Kabupaten Dompu, NTB. Sebuah desa di Kaki Gunung Tambora yang menjadi salah satu akses masuk menuju gunung yang terkenal dengan letusannya yang sangat dahsyat hingga mampu mengubah iklim dunia pada tahun 1815 silam.

Dia berjalan menuju basecamp tempat para pendaki biasa beristirahat sebelum atau sesudah melakukan pendakian gunung yang memiliki kaldera selebar tujuh kilometer persegi sebagai akibat dari letusan supervulcano yang membuatnya harus kehilangan sepertiga tinggi puncak dari 4.300 mdpl menjadi 2.850 mdpl. Memiliki kawah yang menganga begitu besar menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi Tambora selain sejarahnya yang pernah menyebabkan kematian massal sebanyak kurang lebih 71.000 jiwa pada masa itu.

Jika ingat tentang sejarah gunung berapi itu tengkuk Mahesa langsung meremang. Dia membayangkan betapa sulitnya bertahan hidup pada masa itu dan perjuangan warga menyelamatkan diri dari amukan Tambora. Hidup di negara ring of fire seperti Indonesia ini memang sudah menjadi risiko tersendiri bagi rakyatnya, tapi di balik ketakutan yang terus mengancam jika sewaktu-waktu deretan gunung berapi itu memuntahkan isi perutnya, rasa syukur karena hidup di kelilingi gunung-gunung yang begitu indah pun tak bisa dipungkiri.

Keadilan yang Tuhan berikan sangat terlihat. Pemandangan yang luar biasa indah, tanah yang subur makmur, serta alam yang kaya menjadi salah satu karunia yang Tuhan berikan untuk manusia khususnya rakyat Indonesia dan Mahesa sangat bersyukur bisa hidup di Bumi Pertiwi yang begitu indah dan memesona.

"Mas Mahesa dari Jakarta, ya?" seorang pria menghampiri Mahesa yang sedang menafakuri kebesaran Tuhan.

"Saya Saiful, panggil saja Ipul. Saya pengelola basecamp ini, Mas. Selamat datang di Tambora," ucap pria itu ramah sambil menyalami Mahesa.

"Terima kasih, Mas," jawab Mahesa dengan senyum terkembang.

"Panggil Bang saja. Bang Ipul."


***


Bang Ipul kemudian menggiring Mahesa masuk ke sebuah bangunan kayu berwarna cokelat bertuliskan "PONDOK PETUALANG & TAMBORA TREKKING ORGANIZER" yang terdapat pada sebuah papan putih. Di sana ada beberapa orang pendaki yang juga baru sampai dan akan melakukan pendakian esok hari. Setelah mengobrol banyak ternyata para pendaki yang berjumlah lima orang itu berasal dari Surabaya dan mereka dengan berbaik hati mengajak Mahesa yang hanya mendaki sendiri untuk ikut bergabung dengan rombongan mereka. Inilah salah satu nikmatnya mendaki, selalu mendapatkan teman dan kenalan baru yang sudah terasa seperti keluarga.

Usai bersih-bersih dan makan, Mahesa mencoba menghubungi Mama yang mungkin sedang mencemaskan dia saat ini karena sejak berangkat dari Jakarta hingga sampai di Tambora, Mahesa sama sekali belum menghubunginya.

"Halo, Ma," sapanya dengan posisi duduk di atas kasur.

"Sa, kamu, kok, baru nelepon, sih? Mama khawatir tahu nggak. Gimana udah sampai puncak?" pertanyaan Mama itu membuat Mahesa tersenyum sendiri.

"Belum juga naik, Ma, masih di basecamp. Rencananya besok pagi baru mulai mendaki. Lagian Mama ada-ada aja, sih, emangnya puncak dekat."

"Habis Mama masih takut aja kalau sampai apa yang terjadi sama ayah kamu itu terulang. Mama masih trauma, Sa."

"Mama tenang aja, aku akan hati-hati. Mama doain aku aja semoga perjalanannya lancar dan nggak ada hambatan." Mahesa maklum dengan ketakutan Mama.

"Amin ... kamu hati-hati di sana. Kalau sudah sampai puncak langsung kabari Mama."

"Kemungkinan di atas nggak ada sinyal, Ma. Makanya aku telepon Mama sekarang untuk mengabari itu juga, tapi kalau ada sinyal aku pasti langsung kabari Mama."

A Love to Him (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang