36. Titik Pengakuan

77 6 0
                                    

Senggani termenung seorang diri di depan laptop sejak tadi. Belum ada satu kata pun dia tulis untuk mengisi lembaran kolom terbarunya. Pikirannya kosong dan sedang tidak mood untuk menulis. Terlebih Mahesa absen tanpa ada keterangan yang jelas. Sejak tadi juga handphone lelaki itu sulit dihubungi. Belum lagi kenyataan tentang keluarga Mahesa yang tidak sengaja Senggani dengar kemarin ikut memperkeruh suasana hatinya hari ini.

Mungkin lelaki itu masih syok dan terguncang sehingga dia tidak datang bekerja dan tidak menghubungi orang kantor perihal absennya hari ini. Pikiran Senggani jadi bermacam-macam jika memikirkan tentang Mahesa yang dia tinggalkan sendirian di studio tadi malam. Senggani mencoba menghubungi Danang, berharap dia sudah tiba di Jakarta. Pucuk dicinta ulam tiba, saat sedang mencari nomor kontak Danang, malah cowok itu sendiri yang menghubunginya.

"Halo, Mas Danang?" sapa Senggani cepat.

"Senggani, Mahesa ada di kantor? Kalau ada bisa minta tolong suruh dia aktifkan hapenya? Saya mau bicara. Penting!" nada bicara Danang sangat terburu-buru dan itu membuat Senggani jadi ikutan cemas. Apalagi ini menyangkut soal Mahesa.

"Mahesa nggak masuk hari ini, Mas. Nggak ada kabar juga dari dia."

"Haduh!" terdengar keluhan Danang di seberang sana. "Senggani, saya boleh minta tolong sama kamu?"

"Minta tolong apa, Mas?" jantung Senggani jadi berdegup kencang karenanya.

"Kalau kamu ada waktu, bisa tolong cari Mahesa di studio atau panti nggak? Kemungkinan dia ada di sana. Alamatnya—"

"Saya tahu tempatnya, kok, Mas," potong Senggani. "Tapi kalau boleh tahu ada masalah apa, ya?"

"Tante Rahayu masuk rumah sakit dan beliau nyariin Mahesa, cuma handphone-nya mati terus. Jamal juga saya hubungi malah sibuk. Saya masih di Malang, makanya minta tolong sama kamu cariin dia. Bisa, kan?"

"Bisa, Mas! Ya, udah, sekarang juga saya berangkat."

Senggani memutus sambungan teleponnya dengan Danang dan langsung menuju ruang kerja Mas Rizal untuk meminta izin pulang cepat dengan alasan ada saudaranya yang masuk rumah sakit.


***


Sampai di depan studio Senggani mengetuk-ngetuk pintu dengan keras, tapi tak ada juga jawaban dari dalam. Apa Mahesa tidak ada di dalam? Apa dia pergi? Atau jangan-jangan ....
Berbagai pikiran negatif terus berseliweran di benaknya tentang Mahesa. Senggani kembali mengetuk pintu dengan keras sambil memanggil-manggil nama Mahesa. Dia meraih knop pintu dan mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci. Senggani yang mulai ketakutan menggedor pintu dengan tangan terkepal agar suara ketukannya lebih keras.

Saya mohon, Sa ... jawab saya, saya mohon .... pinta Senggani dalam hati sambil terus menggedor pintu dengan panik takut jika sesuatu terjadi pada lelaki yang kemarin malam dia tinggalkan dalam kondisi terguncang itu. Seharusnya dia tidak meninggalkan Mahesa begitu saja, seharusnya dia bisa menemani lelaki itu lebih lama lagi.

Klik ....

Suara kunci berputar terdengar dan pintu pun terbuka bersamaan munculnya sosok tinggi itu dari dalam dengan tampang kusut dan rambut berantakan serta masih mengenakan pakaian yang kemarin. Senggani mengembuskan napas panjang saat melihat kondisi lelaki yang masih memegang knop pintu itu baik-baik saja.

Sambil memegangi dadanya yang berdetak kencang, Senggani tiba-tiba memeluk Mahesa dengan erat hingga membuat lelaki yang masih dalam kondisi mengantuk itu langsung terbelalak.

"Are you okay?" tanya Mahesa memastikan keadaan Senggani.

Mendengar suara Mahesa membuat Senggani kembali ke alam nyata dan langsung melepaskan pelukannya. Senggani merutuki diri sendiri atas apa yang dia perbuat barusan. Sejenak tadi dia hanya mengikuti insting tubuh untuk meraih lelaki yang masih tegap berdiri di hadapannya tanpa kurang satu apa pun.

A Love to Him (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang