13. Darkest Memories

78 3 0
                                    

Sebelum pulang ke Jakarta, Mahesa mengajak Senggani untuk berjalan-jalan sebentar dan kini mereka sedang berdiri di depan sebuah rumah yang cukup besar berlantai dua. Senggani sendiri tidak tahu untuk apa mereka hanya berdiri di depan gerbang dan tidak kunjung masuk ke dalam jika memang Mahesa ada urusan. Mereka sudah berdiri hampir satu jam di sana, tapi Mahesa masih saja diam mematung dan tidak bergerak sama sekali. Senggani yang sudah merasakan pegal di kedua kakinya mulai menggerundel dalam hati, dia tidak berani menegur ataupun bertanya karena dia bisa menangkap ekspresi wajah Mahesa yang kelabu sejak datang ke tempat ini. Seperti ada aura kesedihan yang menyelimuti hati lelaki itu sekarang. Apa mungkin dia punya kenangan buruk dengan rumah yang terlihat tak berpenghuni itu?

Yang bisa Senggani lakukan hanya memijat-mijat kakinya yang pegal sambil duduk selonjoran di bahu jalan, sedangkan Mahesa terus saja berdiri di depan pintu gerbang sembari menatap nanar ke arah rumah bercat putih itu. Dia seperti kembali terlempar ke masa lalu saat masih bersama Lara. Rumah ini menjadi saksi atas peristiwa menyakitkan beberapa tahun silam saat dirinya memberanikan diri untuk datang dan mengakui bahwa janin yang saat itu ada dalam kandungan Lara adalah darah dagingnya.

PLAK!!!

Tamparan yang sangat keras dari Pak Handoyo mendarat dengan cepat di pipi Mahesa setelah dia mengakui perbuatannya di hadapan keluarga Lara.

"Pa, jangan pukul dia!" terdengar suara Lara yang menangis menghambur memeluk Mahesa. "Dia nggak bersalah, Pa ... jangan pukul dia lagi!" rajuk Lara yang sudah sembap matanya karena menangis terus-menerus.

"Untuk apa kamu masih membelanya Lara? Laki-laki berengsek seperti dia nggak pantas untuk kamu bela! Kemari kamu, jauhi dia!" Pak Handoyo menarik paksa tangan Lara dan menjauhkannya dari Mahesa yang hanya bisa tertunduk lesu. Dia pasrah dengan apa yang akan dilakukan Pak Handoyo terhadapnya.

"Aku nggak mau!" perempuan itu berontak dan memilih kembali bersama Mahesa. "Papa nggak berhak melakukan ini terhadap Mahesa. Dia nggak bersalah, Pa. Aku yang salah, semua salahku, Pa ... berhenti menyalahkan dia. Aku mohon ..." Lara meraung dengan suara yang terbata-bata.

"Masih berani kamu membela dia!"

Pak Handoyo berkacak pinggang sambil mondar-mandir dengan raut wajah yang memerah, sementara Ibu Handoyo terduduk di sofa sambil menangis sesenggukan memohon ampun kepada Yang Kuasa. Tidak pernah terbayang di benaknya, putri semata wayang yang dia besarkan dengan penuh kasih sayang akan dengan tega dicelakai orang seperti ini. Walau orang itu akhirnya datang dan mengaku akan bertanggung jawab, itu tetap tidak akan bisa menutupi rasa kecewa yang mereka terima. Harga diri dan kehormatan mereka seolah sudah diinjak-injak oleh seorang lelaki yang sudah menorehkan noda di dalam rahim putrinya dan menaruh malu yang luar biasa bagi keluarga itu.

"Saya akan bertanggung jawab, Om. Saya akan menikahi Lara," ujar Mahesa yang akhirnya bersuara.

"Diam kamu! Saya tidak mau mendengar sepatah kata pun keluar dari makhluk hina macam kamu!" hina Pak Handoyo yang hampir ingin menampar Mahesa lagi.

"Pa, cukup! Jangan limpahkan semua kesalahan hanya pada Mahesa. Di sini aku yang paling bersalah, Pa!" Lara tidak tahu lagi harus berbuat apa agar ayahnya tidak terus memarahi atau bahkan memukul lelaki itu. Dia iba melihat Mahesa menanggung semua kesalahannya sendirian.

"Lara, kemari kamu!"

Sekali lagi tangan Lara ditarik paksa oleh ayahnya dan kali ini cengkeramannya lebih kuat sehingga Lara tidak bisa meloloskan diri seperti tadi. Lara meronta dan memohon minta dilepaskan, tapi tidak digubris ayahnya yang malah membawa dia ke dalam kamar dan menguncinya. Berkali-kali Lara menggedor pintu dengan keras dan itu semakin membuat ayahnya benci kepada lelaki yang masih berdiri mematung itu.

A Love to Him (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang