45. Kenangan di Jepara

70 6 0
                                    

Setelah menyelesaikan pendakian Tambora, kaki Mahesa kembali melangkah menelusuri setiap jejak kehidupan Ayah di masa lampau. Dan sekarang, dia sudah berada di Kota Jepara. Kota ukiran yang sudah sangat terkenal itu adalah tempat kelahiran Ayah. Menurut cerita Mama, Ayah dilahirkan dan dibesarkan di sana sampai akhirnya mendapat beasiswa untuk kuliah di Yogyakarta.

Begitu tiba di kota ukiran itu, Mahesa langsung menuju desa tempat Ayah dimakamkan. Desa Panggung Kecamatan Kedung adalah sebuah desa nelayan yang begitu damai dan tenang. Satu kata yang tersirat di otaknya untuk menggambarkan suasana desa ini adalah tenteram. Begitu nyamannya suasana di sana karena keramahan para penduduk yang berbaik hati mau mengantarkan Mahesa menuju alamat yang diberikan Mama.

Nampak sebuah rumah sederhana yang dindingnya masih berupa batu bata kasar tanpa cat, berpagar bambu usang setinggi tak kurang dari setengah meter dengan halaman gersang tanpa tanaman. Di kursi kayu tua yang terdapat di teras rumah, duduk seorang simbah putri yang sedang mencampur kapur dan daun sirih untuknya menyirih. Kegiatan yang memang sudah sangat lazim dilakukan oleh orang sepuh yang dipercaya bisa memperkuat gigi di usia yang sudah senja. Usianya sekitar 80-an tahun, bertubuh kecil dengan deretan gigi yang masih utuh kemerahan.

Itu Embah Putri, bisik Mahesa dalam hati. Dia beranikan diri untuk masuk ke dalam halaman rumah dan mendekati Simbah yang matanya sudah kurang awas itu.

"Assalamualaikum, Mbah."

"Waalaikum salam, sinten nggih?" jawabnya sambil mengerutkan dahi karena merasa asing dengan Mahesa.

"Saya Mahesa dari Jakarta, Mbah."

"Siapa, ya?" tiba-tiba seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah.

"Saya Mahesa dari Jakarta." Mahesa berganti menyalami wanita itu yang masih terlihat heran menatapnya.

"Ada perlu apa, ya, Mas?"

Mahesa terdiam bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin tiba-tiba mengaku sebagai anak dari Dananjaya yang mungkin akan dibantah oleh keluarga itu.

"Saya ke sini mau tanya lokasi pemakaman umum di dekat sini sebelah mana, ya?" tanyanya dengan canggung.

"Oh, makam. Dari sini Mas lurus saja, belok kiri ketemu pos ronda lalu belok kanan. Jalan sedikit juga sudah sampai."

"Terima kasih, Mbak."

"Iya, sama-sama. Kalau boleh tahu, Mas ini mau nyekar ke makam siapa, ya?"

"Almarhum ayah saya," ucapnya sambil berpamitan.


***


Mahesa kebingungan mencari posisi makam Ayah. Area pemakaman di desa itu memang tidak terlalu luas, tapi tetap saja membingungkan untuk orang asing sepertinya. Dia berkeliling membaca setiap nisan yang terdapat di sana. Sebagian besar makam memang tak bernisan, hingga membuat Mahesa makin kebingungan sampai akhirnya ada yang menepuk pundaknya.

Begitu menoleh, ternyata wanita yang dia temui di rumah simbah putrinya itu sudah berada di belakang sambil menatapnya lurus tak berkedip.

"Kalau yang kamu cari makamnya Mas Dananjaya, mari saya antar," pungkasnya dengan sedikit menahan haru.

Mahesa yang hanya bisa terdiam, mengekor di belakang dan kembali ke rumah tempatnya tadi bertanya. Mahesa dipersilakan masuk ke dalam dan diantar sampai halaman belakang rumah. Di area yang cukup luas itu terlihat sebuah gundukan tanah yang sudah padat. Tanpa papan nisan dan hanya dipasangi dua pancang bambu sebagai pembatasnya.

"Itu makam Mas Dananjaya. Kakak saya," ujar wanita yang ternyata adalah bibi bagi Mahesa. "Saya sudah curiga begitu melihat kamu, mata dan garis wajah kamu mirip sekali dengan dia."

A Love to Him (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang