Senggani terduduk lesu di jok mobil sambil terus memandang ke arah luar jendela. Dewa yang sedang mengenakan seatbelt pun memperhatikan kakaknya yang sejak keluar dari ruang perawatan terus diam membisu. Dari pengamatannya di dalam tadi, sudah bisa disimpulkan bahwa apa yang dia curigai benar adanya. Tentang perasaan yang kakaknya itu punya untuk Mahesa. Dewa juga tak kalah terkejut saat mengetahui bahwa ternyata dua orang laki-laki yang menjadi penyebab kegalauan kakaknya adalah bersaudara. Rasa iba terhadap nasib Senggani menyelimuti hati Dewa.
“Kak ....”
“Jalan aja, Wa. Nggak usah banyak tanya,” tukas Senggani dengan lesu.
“Tapi—”
“Kamu itu ngerti nggak, sih, kalau aku bilang jalan, ya, jalan!” Senggani menyalak. Tanpa sadar dia memarahi Dewa atas semua kekesalan dalam hatinya.
“Oke, oke.” Dewa menyerah, dia memutar kunci dan memasukkan gigi. “Aku tadi cuma mau bilang kalau kamu belum pakai seatbelt-nya.”
Senggani yang telanjur malu pada Dewa akhirnya menarik dengan paksa seatbelt itu dan mencoba memasangnya, tapi karena marah dan gerakannya terburu-buru Senggani belum juga bisa memasang sabuk pengamannya ke pengait dengan benar hingga akhirnya Dewa turun tangan membantu.
Senggani hanya menunduk sambil mengatur emosinya yang mulai membuncah. Bahkan untuk memasang sabuk pengaman saja dia tidak bisa melakukannya dengan benar. Senggani merasa hari ini dia benar-benar menjadi orang bodoh. Air matanya berproduksi lagi untuk kesekian kali. Hari ini dia banyak menangis, dan semua itu disebabkan oleh satu orang lelaki bernama Mahesa.
Dewa mengembuskan napas berat. “Kalau mau nangis, nangis aja, jangan ditahan. Aku nggak mau bawa kamu pulang dalam kondisi begini. Bisa-bisa nanti Ibu panik lagi.” Dewa sudah mematikan kembali mesin mobilnya.
Barulah isak tangis itu terdengar. Senggani menumpahkan semua yang ada di hatinya dengan air mata. Dia menutupi wajah dengan kedua tangan dan menangis sejadi-jadinya. Dewa yang mendengar tangisan kakaknya yang begitu menyedihkan, melepas seatbelt yang sudah melekat di tubuh lalu meraih Senggani ke dalam dekapannya.
***
Mahesa yang baru sampai di studio dalam keadaan lelah hati, harus kembali menyiapkan sisa tenaganya untuk berhadapan dengan Jamal yang ternyata masih menunggu di sana. Cowok klimis itu cukup keras kepala juga entah ingin menyelesaikan perkara atau malah memperpanjang lagi perkara.“Masih di sini lo?” tanya Mahesa dengan sinis.
“Lo, kan, tahu gue bukan tipe orang yang suka menunda masalah,” sembur Jamal tak kalah tajamnya.
“Oh, jadi masih mau diperpanjang? Oke!” Mahesa sudah siap dengan jotosannya.
“Aduh udah, dong. Jangan berantem lagi kenapa, sih? Pusing gue lihat kalian!” Danang yang baru masuk ke dalam setelah memarkirkan motor menyela.
Hari ini benar-benar apes untuk Danang. Tubuhnya yang sudah lelah akibat perjalanan Malang-Jakarta dengan kereta api, belum bisa diistirahatkan karena harus langsung menjadi pawang bagi kedua singa jantan yang sedang berkelahi itu. Setelah pertengkaran lerai karena Mahesa memilih pergi, Danang yang baru merasakan tidur sebentar sudah dibangunkan Jamal yang mendapat amanat dari Tante Rahayu untuk segera membawa Mahesa ke rumah sakit. Si gondrong itu lagi-lagi sulit dihubungi mamanya karena tidak membawa ponsel yang masih dalam kondisi di-charge. Danang yang masih lelah tadinya menolak, tapi karena Jamal masih gengsi untuk menemui Mahesa jadilah dia mengalah dan menjemput paksa si gondrong agar mau ke rumah sakit.
Dan setelah malam beranjak, Danang yang merasa sudah bisa beristirahat dengan tenang, lagi-lagi harus menjadi penengah di antara kedua sahabatnya agar tidak terjadi perkelahian yang lebih parah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love to Him (Revisi)
RomansaIsi kurang lebih sama dengan versi lama. Hanya ada beberapa penambahan bab dan pengurangan plot yang Thor rasa kurang mendukung isi cerita. Juga terdapat perubahan di beberapa adegan dan gaya bahasa. Cover juga diganti untuk membedakan versi lama da...