PART 05
• • ๑ • •
Mendekati jam-jam makan malam, Jameta keluar dari kamarnya menuju dapur. Dia ingin berbicara dengan Erise. Sangat kebetulan sekali, ketika dirinya sampai dapur Erise ada di sana sedang duduk. Sedangkan Kepala pelayan Maryam dan koki sedang memasak, Jameta tersenyum licik.
Wanita itu mendekati Erise dan duduk si sebelahnya. "Kakak," panggilnya.
Erise yang sedang menundukkan kepala pada meja lewat lipatan tangannya lantas menengadah menatap sumber suara. "Oh," ujar Erise. "Kenapa?" Tanya Erise dengan senyum tipis.
"Aku ingin bertanya," Jameta bersuara pelan, citranya selama di depan Erise adalah gadis polos baik hati dewasa yang menyayangi kakaknya, mengarahkan kakaknya pada jalan sesat dan jauhkan dari jalan yang benar.
Erise tak menjawab, wanita itu hanya menatap adiknya penuh keingintahuan. Padahal dalam hati Erise sudah memperkirakan apa yang ingin Jameta tanyakan.
"Apa kakak tadi mendatangi kantor Mas Nega?" tanya Jameta, nada suaranya sengaja dibuat seolah ragu, takut dan waspada supaya itu tertular pada Erise. Yang sayangnya tidak.
"Iya, ternyata seru sekali di sana." Erise menjawab santai. "Karyawannya terlihat sangat baik dan ramah," Erise menambahkan bumbu. Padahal kenyataannya Erise tidak berinteraksi sama sekali.
Mata Jameta berkilat tajam sebelum kemudian hilang, dengan nada ragu dan takut Jameta berkata, "Kenapa kakak memberanikan diri ke sana? Bagaimana jika Mas Nega merasa tidak nyaman saat bekerja? Atau justru risih, kasihan Mas Nega kak."
Erise berkedip cengo, meskipun sudah ratusan kali mendengar kalimat itu, tapi kali ini ketika mendengar kembali rasanya Erise ingin sekali tertawa karena baru menyadari artinya.
Tawa itu rupanya tak dapat ditahan, Erise terkekeh di hadapan Jameta. Erise benar-benar sedang menertawakan kebodohannya dulu.
Jameta justru salah paham, apa yang sedang orang bodoh itu tertawakan? Jameta mengira Erise sedang menertawakannya yang aslinya memang iya.
"Apa yang sedang kakak tertawakan?" Tanya Jameta, ada sedikit geraman. Di bawah meja tangan itu terkepal kesal.
"Kau," Erise menjawab jujur setelah menghentikan tawanya. Dia menatap Jameta yang sudah terlihat kesal tapi ditutupi dengan sangat baik. "Terima kasih sudah khawatir dengan suamiku. Tapi sepertinya Mas Nega nyaman, justru dia lebih semangat bekerja ketika ada aku di sana." Erise memberikan cerita bahagia itu tanpa beban karena dengan cerita saja, bebannya sudah berpindah pada otak Jameta.
Biarkan Jameta capek dengan pikirannya.
"Bagaimana kalau Mas Nega hanya berpura-pura karena tidak ingin kakak bersedih?"
"Noo, dia nyaman. Sangat nyaman, Mas Nega mengerjakan pekerjaannya dengan baik." Jeda sejenak, Erise menatap lekat Jameta. "Ketika melihatnya bekerja seperti itu aku jadi teringat Ayah, yang dilakukan Mas Nega mengingatkanku pada Ayah."
Jameta menatap Erise sendu, "Aku juga rindu Ayah, semoga kakak bisa menyusulnya nanti."
"Ya," Erise menjawab dengan senyum manis, terlihat bodoh dan berpura-pura tidak mengerti kalimat Jameta ternyata sangat menyenangkan.
"Mama!" Dalam gendongan Papanya, Gare berteriak nyaring. Pria kecil itu berekspresi riang menampilkan gigi susunya.
Erise bangkit dari duduknya, "Sayang," sapanya pada Gare dan mencium pipi anaknya. Erise mengambil alih Gare dari Nega.
"Jameta, boleh pindah? Itu kursi untuk Gare, kau bisa duduk di kursi lain yang bersebelahan dengan Ibu." Pinta Erise.
"Baik Kakak," dengan senyum Jameta pindah ke kursi seberang, menyiapkan tempat duduk untuknya dan sang Ibu yang baru datang dan bergabung. Erise sangat tahu kalau sekarang Jameta sedang cari perhatian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Husbandy
RomanceKarena sifat baiknya yang berlebihan membuat Erise seringkali dimanfaatkan dan ditipu. Sebelumnya Erise akan menerima saja, selagi mereka baik padanya. Tapi sekarang tidak lagi sejak dirinya dikhianati oleh Ibu dan adiknya, apalagi mereka membawa-ba...