EP. 02 : PEMBUKAAN

35.6K 3.2K 72
                                    

PART 02

• • ๑ • •

Erise telah selesai menyiapkan sarapan bersamaan dengan sudut matanya melihat dari arah tangga, Nega dan Gare turun bersama. Di tangga yang panjang melingkar itu, Nega menuntun dan memegangi tangan Gare, langkah Nega pun menyesuaikan dengan langkah kaki kecil anaknya.

Kegiatan itu bukan untuk pertama kali, setiap pagi pasti selalu di lakukan baik dengan Nega ataupun Erise sendiri. Ingatan Erise kembali ke masa lalunya, dia masih ingat dengan baik. Saat itu, bukan dirinya ataupun Nega yang menuntun Gare turun dari tangga, tapi Jameta yang mengakibatkan Gare terjatuh dengan pelipisnya yang berdarah. Untungnya itu ketika sudah berada di ujung tangga, jadi hanya luka yang tidak terlalu parah.

Dulu Jameta mengatakan kalau Gare terlalu antusias, jadi anak itu berjalan riang sampai tak memerhatikan jalan. Sedangkan menurut Nega, langkah kaki Jameta terlalu cepat sampai Gare tak bisa menyesuaikan. Bodohnya Erise lebih mempercayai Jameta dibanding suaminya sendiri.

Gare tak memberikan kesaksian apapun. Sudah Erise katakan, jika ada Jameta dan Ibunya, Gare akan lebih banyak diam. Mungkin dulu benar apa yang yang dikatakan Nega. Mengingatnya, dalam sekilas tatapan lembut Erise hilang. Di gantikan dengan tatapan tajam nan tegas yang lebih terlihat bengis sebelum kemudian mata itu kembali seperti semula.

Begitu sampai di lantai dasar, Gare segera berlari riang menghampiri Erise lalu memelukkakinya. "Mama!" sapanya riang dengan tawa bayinya yang merdu.

Erise balas tertawa sembari mengangkat Gare untuk duduk di kursinya. "Wangi," ujar Erise lalu mencium kening Gare.

"Papa yang pakaikan," balas Gare. Memberitahu wangi bedak bayi itu dipakaikan oleh Papanya.

"Bukan Gare?" Erise tersenyum kecil sedikit menjahili untuk mendengar jawaban anaknya.

Raut Gare sedikit memelas menatap Mamanya. "Gale belum bisa Mama," akunya jujur.

Erise terkekeh, tangannya mengusap kepala Gare yang sudah tersisir rapih. "Tidak apa-apa, kalau Gare sudah bisa nanti beritahu Mama ya? Mama akan beri hadiah," ujar Erise.

"Benar, Mama?" Pertanyaan semangat itu langsung diangguki Erise. "Besok pasti Gale sudah bisa!" Katanya lebih semangat.

"Oke, Mama tunggu."

"Ekhem," Nega berdehem karena sedari tadi dirinya tak di ajak bicara, seolah keberadaannya yang sudah duduk tak terlihat.

Gare dan Erise lantas menatap ke arahnya.

"Kenapa Papa?" Gare bertanya polos.

"Lapar," sahut Nega asal, tak tahu harus menjawab apa. Matanya menatap ke arah lain asal tidak jatuh pada mata istrinya.

"Gale juga lapar," aku anak empat tahun itu. "Mama, kita lapar." Adunya pada sang Mama.

"Sudah Mama siapkan, ini rotinya." Secara bergantian Erise menaruh roti isi pada piring Gare dan Nega. "Ini susu putih untuk Gare."

"Ini kopinya, Mas." Erise menaruh kopi di sebelah Nega. Wanita itu juga turut duduk untuk sarapan.

Gare menatap Mama dan Papanya bergantian. "Papa tidak minum susu?" tanya anak itu. "Susu sama kopi beda kan Mama?" tanyanya lagi, kali ini pada Erise.

"Beda," Gare mengangguk. "Gale tidak pernah lihat Papa minum susu." Ujarnya.

Nega meminum kopinya sebelum berkata, "Papa meminumnya ketika Gare tidur."

Anak empat tahun itu mengangguk-angguk saja sembari mengunyah rotinya, pantas saja dia tak pernah lihat Papanya minum susu.

Erise menghela napas kala Gare tak memberi pertanyaan lebih lanjut, dia tak tahu harus menjawab apa nantinya. Erise menatap Nega, tapi suaminya itu mengalihkan pandangan darinya, seolah tahu kalau tatapan Erise sedang memperingatkannya dalam berbicara.

HusbandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang