Prolog

1.4K 79 0
                                    

"Wahai yang meninggalkan shalat! Musibahmu lebih parah dari musibah Iblis. Iblis menolak untuk sujud kepada Adam alaihissalam, sedangkan kamu menolak sujud kepada Rabb-nya Adam alaihissalam. Ada apa engkau dengan Rabb-mu, hingga engkau tidak mau berjumpa dengan-Nya?"

Perkataan dari Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsy itu, terngiang di kepala seorang gadis yang tertutup hijab berwarna putih. Membawanya untuk berbelok ke sebuah masjid jami' saat adzan ashar terdengar berkumandang. Ia hendak melaksanakan shalat berjamaah di sana.

Hanya ada satu makmum perempuan. Sisanya adalah makmum laki-laki. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi kekhusyukannya saat menghadap Allah.

Saat bersamaan dengan jemaah lelaki yang mulai menyusut dari masjid. Ia memutuskan untuk tetap tinggal di sana seusai shalat. Menyendiri dengan Ilahi Rabbi, untuk berbincang perihal segala nikmat yang masih dirasa sampai detik ini, termasuk nikmat masih diberikan kesempatan untuk bersujud.

Nikmat yang tidak bisa semua orang rasakan. Juga seringkali terlupa untuk disyukuri.

Namun, saat kedua tangan yang masih terbalut mukena itu hendak menengadah untuk berdoa. Matanya tak sengaja melihat sebuah benda kecil berwarna hitam yang tergeletak di shaf paling depan barisan laki-laki.

Sadar akan matanya yang sedikit kabur meski baru berusia tujuh belas tahun, gadis itu memilih mendekat untuk melihat benda apa yang membuat dirinya bertanya-tanya saat ini.

Ternyata sebuah dompet.

Milik siapa?

Milik salah satu orang yang tadi berjamaah, kah?

Jika iya, mungkin harus segera dikembalikan sebelum orang tersebut pergi semakin jauh dan kebingungan saat menyadari barang berharganya sempat tertinggal.

Gadis itu mengganti mukenanya dengan kerudung lalu pergi ke luar.

"Kira-kira ... dompet ini milik siapa, ya? Di luar masjid juga udah nggak ada orang." Ia bergumam.

Matanya mencoba mencari ke arah selatan. Di mana segerombol anak laki-laki yang tengah bermain layangan tersorot kornea mata, dan tidak Ia temui seorangpun pria dewasa di sebelah sana.

Lalu matanya bergulir ke arah utara. Barulah nampak seorang pria tengah menundukkan kepala seperti sedang mencari sesuatu di ujung jalan. Membuat glabelanya seketika mengerut.

Diakah orangnya?

Si pemilik dompet yang tengah Ia pegang dan bernama lengkap Ivan Saputra Pratama. Sesuai dengan nama yang tertera di kartu tanda penduduk, yang sempat gadis itu lihat di dalam dompet untuk memastikan kejelasan sang empunya.

Gadis itu mendekat. Ia mencoba memastikan.

"Assalamu'alaikum, Om."

"Wa'alaikumussalam."

Pria berkemeja abu lengan panjang itu berbalik. Sedikit terkejut saat ada seorang gadis berseragam sekolah tiba-tiba datang mendekatinya, sembari menegur. "Iya, ada perlu apa, Dek?"

"Saya hanya mau mengembalikan ini, Om. Barang kali dompet ini milik Om yang tertinggal di masjid saat shalat tadi." Gadis itu menyerahkan dompetnya sembari bertanya. "Dengan Om Ivan, kan?"

"Wah, iya nama saya Ivan. Kamu tahu dari mana?"

"Mohon maaf, Om. Tadi isi dompetnya sempet saya buka. Nggak ada niat ambil apa-apa, kok. Cuma ingin tahu barang kali ada petunjuk tentang pemilik. Dan alhamdulillah-nya saya menemukan kartu identitas dan wajah Om di sana. Isi dompetnya bisa Om cek lagi barang kali ada yang hilang."

"Tidak perlu. Saya percaya orang baik dan jujur itu masih ada."

Gadis itu tersenyum. Begitupun dengan Ivan yang kini merasa sedikit lega.

"Saya pikir dompetnya nggak bakal ketemu. Tapi alhamdulillah-nya masih rezeki. Dan sebagai ucapan terima kasih, saya akan mengucapkan ucapan terima kasih dalam lima bahasa. Syukron, arigatou, kamsamhamnida, khob kun dan hatur nuhun."

Gadis itu terkekeh. Selain ramah, pria di depannya juga cukup humoris.

"Sami-sami, Om. Kalo begitu saya pergi dulu, ya, Om. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Usai menangkupkan kedua tangan, gadis itu kemudian berbalik lalu kembali mengarah ke masjid di mana tas sekolahnya Ia tinggal di sana. Sudah sore, Ibunya pasti tengah menunggu di rumah.

Beberapa langkah gadis itu pergi, kini giliran putra sulungnya yang mendekat. Suara kepasrahan yang keluar membuat Ivan lantas menoleh pada sang anak.

"Kenapa, A?"

"Di mobil dompetnya nggak ada, Yah. Kalo jatuh di jalan juga dompetnya nggak ketemu. Emangnya nggak ketinggalan di kantor, Yah?"

"Ah, ini. Dompet Ayah udah ketemu. Ketinggalan di masjid tadi. Tuh, gadis itu yang nganterin." Pria itu memandangi sang objek pembicaraan yang terlihat semakin mengecil di penglihatan. "Baik anaknya, sopan lagi. Pas mau pulang, sebagai tanda penghormatan dia cuma nangkupin kedua tangan nggak ngajak salaman. Gadis itu kayaknya taat beragama."

Sang anak yang penasaran dengan target pujian Ayahnya langsung mengikuti arah pandang Ivan. Iris pekatnya terfokus. Oh gadis itu. Gadis yang tengah memakai sepatu dan duduk teras di masjid itu ... Dia satu-satunya makmum perempuan yang ikut berjamaah shalat ashar tadi.

Tak menyangka, barang yang sempat membuatnya pusing karena terdapat beberapa kartu penting di dalamnya, justru gadis itu yang malah menemukan saat di masjid.

Menyadari adanya suatu kejanggalan, Ivan mengamati putranya dan gadis itu bergantian. "Baju seragamnya sama kayak kamu, A. Pake jas warna army. Kalian satu sekolah?"

"Hm, kita satu sekolah, Yah."

"Masyaa Allah, ternyata eh ternyata kalian satu sekolah. Siapa namanya, A? Ayah lupa nggak nanya nama sama minta username instagramnya."  

"Mau dijadiin istri kedua, Yah? Emang nggak kasihan sama masa depannya?"

"Astaghfirullah, A. Pikiranmu itu toh, negative thinking. Ayah cuma pengin tau aja. Barang kali dia mau jadi anak angkat Ayah, atau jadi anak mantu juga nggak papa," ucap Ivan membuat putranya bingung harus memberi tanggapan seperti apa.

Dijadikan anak menantu?

Itu berarti Ayahnya ingin gadis itu menjadi istrinya, Kan?

Mengingat, di rumah mereka hanya ada satu anak laki-laki yang tiada lain merupakan dirinya sendiri. Meskipun Ia bukanlah anak tunggal. Dan satu-satunya adik yang Ia punya juga berjenis kelamin perempuan.

Alih-alih menjawab, lelaki itu justru mendongak menatap langit. "Kita pulang sekarang aja, Yah. Keburu hujan."

"Ah, iya. Bunda sama adek juga kayaknya lagi nunggu di rumah. Tapi, A. Yakin nih kamu nggak mau ngasih tahu nama perempuan tadi sama Ayah? Inisialnya aja gitu?"

Tahu tabiat sang Ayah yang akan terus bertanya sebelum mendapat kepuasan dari sebuah jawaban. Putranya memilih mengalah. Sembari melangkah Ia menjawab.

"Gadis itu. Dia ... Humaira."


الحمد لله

Assalamu'alaikum ...

Ahlan wa sahlan  para shaliha di cerita terbaru akuuuuu. Wuahahaha.

Bismillah, nyoba-nyoba hijrah ke genre islami. Semoga aja lancar serta Allah mempermudah. Jangan lupa juga ya, dukungannya. Semoga cerita ini bisa memberikan manfaat bagi sang penulis, juga tentunya bagi sang pembaca.

Pantengin terus. Dan semoga cerita ini cocok bagi kalian. Aamiin.

Dadah, see you in next part🕊️

1/6/22

Dia Humaira ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang