DH-14. Ujian Sekolah

166 30 0
                                    

"Teruntuk diri yang masih diberi kesempatan untuk bernafas sampai detik ini. Sudahkah meluangkan waktu untuk mengucap syukur?"

🕊️🕊️🕊️

Sore yang redup seakan mendukung Aira untuk pergi keluar weekend ini. Melangkahkan kaki ke kampung sebelah, gadis itu berniat membeli papan dada untuk ujian kenaikan sekolah esok hari.

Tak terasa, tinggal satu tahun lagi Ia menyelesaikan pendidikannya di SMA. Semuanya terjadi begitu cepat. Nyaris dua tahun tinggal di kota ini, nyatanya banyak perubahan yang bisa dikatakan begitu drastis. Namun, baik ataupun buruknya itu tetap Aira syukuri.

Karena dengan bersyukur, mampu membuat jiwa seseorang merasa lebih tenang. Dan ketenangan itulah yang menjadi salah satu kunci dari hadirnya sebuah kebahagiaan.

"Kak Aira!" panggilan lembut dari belakang membuat Aira membalikkan tubuh.

Di antara beberapa dewasa yang tengah sama berbelanja di toko ATK, terlihat seorang anak kecil mendekat ke arahnya sembari melambaikan tangan.

Selesai dengan belanjaannya, Aira membungkuk. Mensejajarkan tingginya dengan Fatimah yang kini berada tepat di hadapan. Gadis itu bertanya,

"Fatimah, Kenapa bisa ada di sini?" tanya Aira kemudian mengalihkan pandangan ke sekitar. Barang kali ada orang lain yang menemani anak itu untuk datang ke sana. Namun nyatanya tidak ada.

"Kamu ke sini sama siapa? Ada yang nemenin, kah?"

Anak berjilbab coklat itu menggeleng. "Fatimah di sini sendiri, Kak."

"Sendiri?" Tampak raut khawatir tersemat di wajah mungil Aira. Pasalnya, membiarkan anak kecil berkeliaran di sekitar jalan raya sangatlah berbahaya.

Terlebih kebanyakan pengendara motor seringkali kebut-kebutan. Takutnya, anak itu berlari-lari dan tanpa sengaja terjadi hal yang tak diinginkan.

"Kalo gitu kenapa Fatimah bisa sampai di sini? Di sini bahaya lho, banyak kendaraan gede-gede."

"Soalnya ... Fatimah tinggal di sekitar sini, Kak. Jadi ya, Fatimah udah biasa ngelewatin jalan ini," ucap Fatimah memberi tahu.

Mendengar itu Aira cukup terkejut. Ia pikir letak rumahnya dengan Fatimah berada di kampung yang sama. Secara, Fatimah termasuk anak yang paling rajin datang ke mesjid. Namun ternyata, meskipun jarak rumahnya yang terbilang cukup jauh, tidak menghalangi anak itu untuk thalabul ilmi meskipun di tempat yang berbeda.

"Fatimah ke sini mau beli sesuatu? Mau kakak antar?" tawar Aira. Barang kali, ada sesuatu yang akan Fatimah beli untuk ujian besok sama sepertinya.

"Nggak, Kak. Fatimah lagi nungguin Aa cari tukang tambal ban. Kita disuruh sama Bunda buat beli bahan makanan soalnya. Tapi, waktu lagi nunggu, Fatimah nggak sengaja lihat Kak Aira. Jadi Fatimah samperin deh ke sini."

Mendengar itu, Aira mengangguk. Lalu menarik tangan Fatimah untuk duduk di kursi plastik yang tersedia di teras toko setelah meminta izin. Meskipun tidak diungkapkan, dapat Aira lihat raut lelah tercetak di wajah Fatimah. Mungkin karena terlalu lama berdiri, anak itu mulai merasa lemas.

Sembari mengistirahatkan diri, kaki mungil Fatimah diayunkan berlawanan arah. Menikmati desiran angin sore yang sejuk, anak itu tak berhenti mengulum senyum. Entah tengah memikirkan apa? Yang jelas, hal itu membuat Aira yang duduk di sampingnya, sesekali merasa heran tetapi terlalu segan untuk menanyakan.

"Kak Aira, Kak Aira. Kemarin usia Fatimah genap sembilan tahun, lho." Fatimah kembali bersuara. Sedikit bercerita agaknya akan mengusir rasa bosan yang melanda. "Jadi, selain harus pakai pakaian yang tertutup. Bunda, Ayah sama Aa juga nyuruh Fatimah buat biasain pakai kerudung kalo mau keluar rumah. Sama satu lagi, mereka nyuruh Fatimah harus pakai kaos kaki juga."

Dia Humaira ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang