"Orang yang melihatmu berbuat salah lantas hanya diam tak mengingatkan, mereka tidak pantas disebut sebagai teman."
-Abidzar El Jafar-
🕊️🕊️🕊️
"Gue pulang duluan, Bro."
Fajar berpamitan pada Abi usai memakai hoodie yang akan melindunginya dari terik matahari jalanan siang ini. Kemudian melangkah keluar dari Kelas XI IPA 5 yang tinggal menyisakan dua orang.
Melangkah dengan tergesa, lensa mata Fajar mengeliling nampak tengah mencari sesuatu. Di belakangnya, Abi memanggil membuat langkah Fajar otomatis terhenti saat hendak menuruni undakan tangga. Dia berbalik.
"Kenapa, Bi?"
"Lo nggak mau ikut ke rumah Ahsan? Bukannya dia ngajak lo juga buat hadir di acara syukuran adiknya hari ini?"
Abi bertanya sembari mendekat. Mengingatkan temannya barang kali lupa akan undangan yang diberikan Ahsan pagi tadi. Namun, reaksi Fajar nampak membingungkan. Cowok itu menggaruk kepalanya yang tak gatal, seraya berucap.
"Gimana, ya, Bi. Kagak bisa kayaknya. Gue ... Gue harus nganterin Nyokap ke rumah saudara jauh kayaknya."
Mendengar itu, Abi menyunggingkan senyum. Seakan tahu alasan yang dilontarkan Fajar hanya alibi semata. Cowok dengan jaket jeans hitam melekat di tubuhnya itu mengangkat sebelah alis.
"Nganterin Nyokap ke rumah saudara jauh atau mau nganterin pacar pulang?" sindir Abi membuat Fajar sontak tertawa hambar. Seakan pertanyaan tersebut mengandung kalimat jenaka.
Dengan raut wajah sedikit berkeringat Fajar menjawab, "Woylah! Ngaco lo, Bi. Mana ada gue punya pacar. Pake acara dianterin segala lagi. Bucin amat perasaan."
"Hm." Abi tak peduli.
Matanya mulai bergerak ke sekitar, memastikan tidak ada jiwa selain keduanya yang melintas di koridor lantai dua.
Sebenarnya, ada sesuatu yang harus Ia tanyakan pada Fajar. Tentang kejanggalan yang Abi rasakan akhir-akhir ini, bahkan nyaris disaksikan dengan mata kepalanya sendiri tadi pagi.
Cowok sama tinggi itu kini berhadapan. Menjadikan tangga teratas yang menghubungkan lantai satu dan dua sebagai tempat diskusi.
Meski hoodie yang dipakai Fajar membuat tubuh bagian atasnya merasa gerah. Namun, entah mengapa saat melihat tatapan tajam Abi tertuju padanya, membuat hawa dingin serasa menusuk seluruh tubuh.
"Jadi ... Sejak kapan lo pacaran sama Biya?"
Abi bertanya to the point. Wajah yang biasa terlihat bersahabat kini berubah datar tak berekspresi. Sudah cukup sebelumnya Ia menahan diri untuk bersuara karena harus mengumpulkan bukti-bukti. Kini saat semuanya terlihat cukup jelas, dirinya mesti turun tangan meluruskan.
Mendengar nama Biya disebut, Fajar mengalihkan pandangan cukup terkejut. Ternyata Abi sudah mengetahui perihal hubungan yang Ia jalin secara diam-diam dengan seorang gadis. Hal itu membuatnya tak mempunyai alasan lagi untuk mengelak.
Meski malu, Fajar berusaha berucap jujur. "Baru dua bulan. Gue nembak Biya dua bulan yang lalu, Bi."
"Dua bulan?"
Raut kecewa nampak begitu kentara di wajah Abi. Mendengar langsung bahwa teman seperjuangannya dalam menyiarkan agama di sekolah, kini justru melanggar salah satu perintah Allah Ta'ala.
Terlebih dalam waktu yang terbilang cukup lama. Hal itu membuat Abi benar-benar merasa gagal menjadi seorang teman.
"Selama dua bulan itu lo nggak sadar, Jar? Kalo apa yang dilakuin sama lo itu bertentangan dengan aturan agama lo sendiri?" Abi menggeleng tidak habis pikir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Humaira ✓
Roman pour AdolescentsMenilai masa depan seseorang berlandaskan masa lalunya adalah suatu kekeliruan. Karena Umar Bin Khattab yang dahulu sangat membenci islam bahkan hendak membunuh Rasulullah pun kini terbaring di sampingnya. Hal tersebut terjadi karena hidayah Allah...