DH-4. Sebuah harapan

326 41 0
                                    

"Jika kelak kau temui kesuksesan dalam hidup, mungkin sebab terkuatnya bukan karena usahamu, melainkan karena tulusnya do'a Ibumu yang mengalir bahkan saat kau sedang terlelap."

-Author-

🕊️🕊️🕊️

Tidak biasanya saat matahari hendak tenggelam di ufuk barat, Aira yang masih memakai seragam putih abu nya masih berada di jalanan. Hal itu bukan tanpa alasan. Hari ini ia terlambat pulang ke rumah dikarenakan sebelumnya menghadiri rapat OSIS usai pulang sekolah.

Kegiatan itu cukup memakan waktu. Belum lagi susah mencari kendaraan membuatnya harus menunggu sekitar hampir setengah jam, untung saja angkutan terakhir berhasil ia naiki. Jika tidak, mungkin dirinya akan pulang lebih terlambat dari ini.

Turun di pertigaan, Aira memutuskan melaksanakan shalat maghrib terlebih dahulu di masjid yang terletak sekitar 100m lebih awal dari rumahnya karena adzan maghrib sudah berkumandang.

Tidak mau menunda kewajiban, Aira masuk saat Imam sudah memasuki rakaat pertama. Dengan segera ia memakai mukenanya setelah sebelumnya mengambil air wudhu. Sebelum bertakbir, sebisa mungkin ia mengumpulkan fokus. Berharap kali ini bukan hanya badannya yang ia hadapkan kepada sang Pencipta, melainkan juga hatinya.

Usai melaksanakan shalat fardhu disambung shalat sunnat ba'diyah, berdzikir bersama Imam rupanya membuat Aira memutuskan untuk tetap tinggal.

Sembari membaca tahmid, mata sipit itu menjelajah ke depan mengamati setiap manusia yang tengah berdzikir dengan lirih. Tidak banyak. Hanya satu shaf yang didominasi Bapak-bapak serta beberapa anak kecil yang dalam duduknya terkadang saling senggol.

Sayang, tidak ia temui muda di sana. Mereka yang mengaku kuat rupanya terlalu ringkih untuk melangkahkan kaki ke mesjid dan menegakkan shalat tiga rakaat.

Seakan lupa sehat dan bugar jasmaninya itu pemberian dari siapa?

Ah, tidak. Mungkin tidak semua muda mengesampingkan perihal agama. Karena nyatanya, netra itu menangkap sosok yang berbeda di paling ujung. Ia lihat seorang pemuda turut berdzikir memuji Rabb-Nya. Nampak begitu khidmat, dengan kepala terbalut songkok hitam yang menunduk seakan menyadari betapa rendahnya ia di hadapan sang pencipta.

Melihat itu, senyum di bibirnya tak mampu ia sembunyikan. Ternyata, pemuda senang ibadah itu belum punah. Dan yang masih memprioritaskan akhirat di atas segalanya masih terdeteksi keberadaannya.

Terlalu asik mengamati fenomena yang menurutnya langka, Aira sampai tidak sadar jika imam sudah selesai membaca surat Al-Fatihah sebagai penutup dan mulai beranjak keluar masjid disusul jama'ah yang lainnya. Sama halnya dengan pemuda tersebut. Ia terikut bangkit lalu membalikkan badan ke belakang.

Dia menoleh pada barisan perempuan dan pandangannya terhenti pada Aira yang sama masih memperhatikannya. Tanpa sengaja, mata keduanya bertemu. Beberapa detik, iris mereka terkunci. Hingga akhirnya sang pemuda terlebih dahulu memutus kontak mata dengan Aira, lalu berlalu ke luar mesjid.

"Astaghfirullahal'adziim!"

Kalimat istighfar langsung terucap di bibir Aira saat sadar melakukan sebuah kesalahan. Tidak seharusnya ia menatap lelaki yang bukan mahram terlebih lagi di tempat yang suci ini.

Meskipun tidak ada yang melihat, tapi hatinya yakin bahwa Allah Maha Melihat. Hal itu membuat kepala Aira tertunduk. Sungguh Aira malu pada Rabb-Nya.

"Maafkan hamba ya Allah," gumamnya dalam hati lalu membaca istighfar sebanyak-banyaknya.

Dia Humaira ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang