DH-58. Muslim-Muslimah Hebat

154 14 3
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Ada banyak cara untuk menempuh jalan kebahagiaan. Namun cara yang diambil berdasarkan rida-Nya, adalah cara terbaik yang mesti dipilih oleh seorang hamba dalam setiap kesempatan."

-Happy reading-

🕊️🕊️🕊️

"Saya baru selesai mengantarkan gambar ke rumah Pak Dani. Dan sekarang sedang bersama Abi. Sebentar lagi saya akan pulang. Kamu mau pesan apa, Humaira?"

"Aku mau titip pesan supaya Mas hati-hati di jalannya. Jangan ngebut, jangan nyalip kendaraan lain. Jangan maksain bawa motor kalo lagi ngantuk. Dan semoga Mas selamat sampai tujuan, ya, Mas."

Aira menjawab lewat telepon sembari mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Seperti biasa, jika siang atau sore, rumah berukuran luas yang di-design dengan interior ala Timur Tengah itu luar biasa sepi dari para penghuni aslinya.

Sedang jauh di seberang sana Ahsan tersenyum kecil. Wajah manis dari sang istri yang tengah memberikan wejangan langsung terbayang. Baru beberapa jam saja tidak bertemu, Aira sudah mampu membuat laki-laki bermata teduh itu senantiasa diserbu rindu.

"Kamu nggak usah khawatir soal itu, Sayang. Saya punya senjata ampuh berupa doa naik kendaraan dan doa tulus yang sering terpanjat dari seorang istri untuk kebaikan suaminya. In syaa Allah, Saya akan pulang dengan keadaan selamat."

Lalu Ahsan terdiam sejenak untuk berpikir. "Kamu suka fruit sando? Briiz chocholate? Atau bitter sweet? Di sini banyak yang menjual makanan manis yang kata Abi akhir-akhir ini sedang viral."

"Eum ... Aku belum pernah nyoba, Mas. Tapi kayaknya enak."

"Oke. In syaa Allah nanti saya bawakan."

"Terima kasih banyak, Mas Ahsan."

"Iya, sama-sama. Mas Ahsan aja, nih? Nggak mau ditambahin, hm?"

"Ditambahin apa, Mas?"

"Terserah. Mungkin ... Sayang?"

"Eum ..." Aira menggigit bibir bagian dalamnya meredam nervous. Gugup sekali rasanya jika harus mengucapkan kata yang ia sadari jarang dilontarkan pada suaminya sejak usia pernikahan. Berbeda dengan Ahsan yang royal mengatakan hal tersebut.  Mata Aira mulai menerawang langit-langit.

Tidak lagi mendengar suara lembut dari sang istri lewat telepon, Ahsan bertanya memastikan telepon masih tersambung.

"Humaira?"

Menghirup napas dalam-dalam. Sembari memejamkan mata, Aira memberanikan diri untuk berkata. "T-terima kasih, Mas Ahsan, S-sayang ...."

Usai mengucapkan itu Aira lantas menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia tidak mau mendengar balasan selanjutnya dari Ahsan.

Sedang jauh di balik telepon sana Ahsan terkekeh puas. Tanpa tahu istrinya sudah tidak lagi bisa mendengar apa yang ia ucap, Ahsan berkata dengan nada penuh euforia.

"Sama-sama, Humaira. Sebentar lagi saya akan segera pulang untuk mendengarkan secara langsung kalimat itu terucap dari mulut kamu. Tunggu saya di rumah, ya, Sayang. Assalamu'alaikum, Jauzati. Ah, Saya begitu sangat-sangat mencintai kamu, Humaira."

Setelahnya telepon terputus.

Aira meringkuk di sofa panjang sembari memeluk bantal. Menutupi mulutnya yang terasa gatal hanya karena mengucapkan kata sayang. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin. Dia terkena serangan sinar radiasi bahasa cinta sepertinya.

Dia Humaira ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang