DH-57. Tasbih Cinta

143 21 1
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Anggaplah kebaikan itu sebagai sebuah kutub magnet. Yang semakin kuat daya yang di punya untuk menarik benda-benda berbahan besi, maka akan semakin banyak pulalah molekul yang ikut tertarik untuk mendekat. Begitu pula dengan kebaikan. Semakin kuat pengaruh yang diberi saat melaksanakannya, maka semakin banyak pulalah kebaikan lain yang turut terundang untuk meniru serta mengelilingi inti dari kebaikan tersebut."

-Happy reading!-

🕊️🕊️🕊️

"Hari ini kamu mau mulai mengajar anak-anak mengaji di mesjid lagi, Humaira?" tanya Ahsan melihat istrinya yang sudah bersiap pergi ke mesjid menjelang maghrib dan tengah berdiri mematut diri di depan cermin kamar.

Sembari memasangkan pin bunga di kerudung sebelah kanan, Aira menyahut usai mengalihkan pandangannya pada lelaki berpeci hitam. Ia tersenyum manis.

"Iya, Mas. Kasihan sejak aku libur usai menikah, Zainab jadi mengajar anak-anak mengaji sendirian. Kebetulan hari ini dia juga lagi halangan. Jadi bismillah aku mau mulai mengajar anak-anak lagi di mesjid, ya, Mas. Tolong izinin aku, ya?" pinta Aira.

Ahsan tidak langsung menjawab. Lelaki yang sudah memakai koko lengan pendek berwarna abu corak merah itu memilih mendekat pada Aira. Membantu merapikan kerudung istrinya yang belum tegak paripurna.

Setelah nampak semakin indah di penglihatan, Ahsan memegang pundak istrinya dengan lembut. Kemudian menyahut sembari berhadapan dengannya. Mata mereka saling beradu pandang menyalurkan kasih sayang.

"Maaf, Humaira. Tapi jika kamu mengajari mereka sendirian saya juga tidak bisa mengizinkan. Dulu dan sekarang sudah jelas berbeda. Kamu tidak bisa melakukan apa-apa sendirian sekarang, Sayang."

Mendengar perkataan dari suaminya membuat senyum Aira sedikit tertahan. Padahal ia pikir seperti sebelum-sebelumnya, izin dari Ahsan akan mudah didapat selama apa yang hendak diperbuat olehnya masih berada dalam ranah yang positif. Namun kali ini entah mengapa penolakanlah yang justru menjadi jawaban.

Ia berusaha menghilangkan kekecewaan dengan menunduk. Menyadari hilangnya binar bahagia di kedua bola mata sang istri, Ahsan melanjutkan.

"Kamu tidak bisa melakukan itu sendiri. Karena saya yang akan mendampingi kamu untuk melakukannya. Mas temenin, ya. Kita mengajar mereka mengaji sama-sama mulai sekarang?"

"Serius, Mas?" Kepala yang semula menunduk sontak mendongak. Aira bertanya memastikan takutnya salah dengar. Namun sebuah senyuman manis di wajah suaminya menandakan bahwa ucapan Ahsan bukanlah omong kosong belaka.

Ahsan beralih menangkup kedua pipi istrinya seraya berkata. "Serius, Humaira. Bisa sama-sama mendidik anak-anak mengaji di mesjid bersama kamu adalah impian yang pernah hadir dalam hidup saya dulu. Dan alhamdulillah sekarang sepertinya akan terwujud. Kita mengenalkan agama Allah kepada anak-anak bersama-sama, ya? Kita bimbing mereka di dunia. Dan semoga saja merekalah yang justru bisa membimbing kita di akhirat nanti untuk menemukan jalan tercepat mencapai surga."

"Bismillah, semoga niat baik kita ini menjadi ibadah. Dan janji saya untuk menemani dakwah kamu juga in syaa Allah bisa terwujud secepatnya."

Maa syaa Allah. Mendengar kalimat indah itu membuat Aira sampai bingung harus memberi tanggapan seperti apa? Bahkan tangannya yang seakan bergerak sendiri untuk memeluk suaminya pun baru Ia sadari saat Ahsan membalas dekapannya lebih erat.

Punggung terbalut gamis yang diusap oleh Ahsan benar-benar merasakan sensasi ketenangan luar biasa. Perempuan itu bergumam disertai rasa haru yang membumbung begitu besar.

Dia Humaira ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang