DH-29. Pelanggaran

107 13 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Jika takdir baik yang sering menghampirimu, maka bersyukurlah. Dan jika takdir kurang baik yang lebih sering menghampirimu juga, tetap bersyukurlah. Karena sejatinya, kemuliaan seorang manusia bukan dilihat dari seberapa sering Ia mendapatkan takdir baik ataupun buruk. Melainkan, seberapa dekatnya Ia dengan Allah saat salah satu takdir tersebut datang menghampiri."

-Happy Reading-

"Ngapain siang-siang gini kamu bawa ransel kayak gitu, Zainab? Bukannya hari ini hari libur?" tanya Windi dengan heran.

Saat hendak mengambil sapu di luar, Ia mendapati Zainab yang baru keluar kamar dengan memakai setelan rok plisket. Dipadukan dengan tunik selutut berwarna putih, senada dengan kerudung yang dipakai berjenis pashmina menutup dada.

Begitu rapi. Terlihat lebih dewasa dari remaja seusianya.

Windi akui adik bungsunya itu memang terlihat sangatlah manis. Hanya saja, sikap sok tahu Zainab yang seringkali menasehati dirinya tentang hal ini-itu terutama masalah agama membuatnya lebih sering bersikap sinis pada sang adik.

Windi tidak suka urusannya dicampuri.

Apalagi oleh seorang anak yang usianya berbeda jauh di bawahnya.

"Aku mau keluar dulu sebentar, Kak. In syaa Allah nggak akan lama kok. Tolong bilangin sama Ibu, ya, Kak. Kayaknya Ibu lagi ke warung," jelas Zainab membuat Kakaknya langsung mengerutkan kening.

"Mau keluar kemana kamu?"

"Ke sana, Kak."

"Iya, ke sana tuh ke mana?" Windi jadi geram. Adiknya itu senang sekali bertele-tele. Padahal dia hanya bertanya hal yang lumrah. Lantas apa susahnya langsung menjawab?

"Oh, Kakak tau. Kamu mau main sama cowok, ya? Makanya nggak berani bilang? Udah ketebak sih modusnya." Windi memasang muka mengejek. Dia berkata sembari melipat kedua tangan di depan dada. Menatap hina pada Zainab.

"Kena juga, kan, kamu sekarang. Dulu sok-sok an nasehatin Indah buat jangan deket-deket sama cowok apalagi sampai pacaran. Tapi sekarang, ikut ngelakuin juga, kan. Sok suci, sih. Ngejilat ludah sendiri, kan, akhirnya."

"In syaa Allah aku nggak bakalan ngejilat ludah sendiri, kok, Kak."

Zainab yang sudah terbiasa dengan cercaan seperti itu hanya bisa menanggapinya dengan kepala dingin. Sedikitpun tidak Ia ambil hati. Watak keras kakak pertamanya itu tidak bisa dilawan dengan kekerasan pula.

Alhasil Zainab lebih sering mengalah. "Aku juga nggak bakalan pacaran. Aku nggak mau nambahin beban Ibu sama Bapak di akhirat nanti.

"Terserah kamu deh. Mau ngaku atau nggak. Yang jelas kalo mau ketemu cowok, jangan lupa sikapnya dianggun-anggunin. Mereka tuh biasanya suka banget sama cewek yang feminim. Apalagi kalo udah manja. Ya, sebelas dua belas lah kayak Kakak dulu."

Mengabaikan ucapan Windi yang begitu ngawur, Zainab tidak menanggapi. Ia memilih pamit.

"Zainab pergi dulu ya, Kak. Assalamu'alaikum."

"Hem, jangan lupa cari cowok yang kaya, ya, Zai. Yang bisa ngangkat derajat kamu biar ke mana-mana nggak usah jalan kaki pake sendal butut terus. Yang ganteng, dandanannya oke, duitnya banyak. Yang udah punya istri juga nggak papa. Biasanya yang kayak gitu lebih royal sama simpenan."

Astaghfirullah.

Alih-alih menjawab salam. Windi justru berteriak dengan mengatakan hal yang membuat Zainab seketika langsung mengucap istighfar di setiap langkah.

Dia Humaira ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang