alpha bau teh

2.6K 287 15
                                    

"Nara? Kenapa?" tanya Regina sambil melepas kardigan dan menggantungnya di gantungan baju. Baru saja pulang kerja, ia langsung dihadapkan pada pertanyaan seperti itu.

"Gua ngerasa aneh aja. Tadi sore dia ngajakin gue pergi hari Sabtu nanti. Katanya ada yang mau ketemu," jawab Helen sambil melahap pasta yang baru ia hangatkan di microwave. "Kan gue belum lama pindah ke sini. Nggak ada yang kenal juga sama gue."

Sejujurnya, kadang Helen memang merasa canggung dengan tetangganya itu. Orangnya kelewat baik dan agak polos menjurus bodoh. Helen malah jadi curiga, apa Nara benar-benar baik atau sedang berpura-pura baik. Kan nggak lucu kalau Helen pamit ingin tinggal terpisah dari keluarganya untuk bekerja, malah berakhir kenapa-kenapa.

"Kaya anaknya memang gitu, Len. Dia memang agak random, sih. Kalo dia nggak random, dia gak akan ngajak gue kenalan tiba-tiba," jawab Regina.

Ia ingat perkenalan pertamanya dengan Nara. Dia kira, dia sedang dikuntit seseorang karena Nara berjalan dua langkah di belakangnya setiap pagi!

Nyatanya nggak. Perempuan beraroma peppermint dan gula batu itu hanya mencari waktu untuk berkenalan dengannya. Dan mungkin karena sedikit pemalu dan socially awkward, makanya dia jadi terlihat seperti penguntit.

"Pergi aja. Itung-itung ucapan terima kasih karena dia udah bikinin lo sop dan minjemin air purifier," ucap Regina.

Ah... benar. Helen memang harus berterima kasih untuk itu.

Tapi bibirnya tiba-tiba manyun. Ujung kedua telunjuknya saling menyentuh di depan hidung. "Kalo ternyata dia jahat dan gue dijual gimana? Kamu gak khawatir temen kamu yang imut, cantik, pintar tiada duanya ini tiba-tiba jadi korban human trafficing?"

"Hoek..." respon Regina. "Lo sok imut lagi, gue timpuk pake sendal!"

Helen tertawa. Memang paling menyenangkan menjahili Regina.

Cewek mungil dengan rambut hitam lurus itu meraih pisang di meja, mulai mengupasnya. "Memangnya, lo diajak pergi ke mana?" Lalu melahap pisang itu.

"Restoran gitu di daerah Utara." Helen membuka pesan singkat di ponselnya. "Di Dream Cafe. Lo tau?"

"Nggak. Tapi lagi booming banget tuh tempat. Semua instastory temen gue isinya cafe itu melulu."

"Lo nggak mau nemenin gue?"

"Gue udah ada janji sama Yangyang."

"Pacaran melulu!"

Seluruh pisang yang tersisa di tangan Regina masuk ke mulutnya. Kemudian ia pergi membuang kulit pisang ke tempat sampah di pojok dapur. "Makanya cepetan cari mate!"

Helen mencebik. "Kalo segampang itu, pasti gua udah dapet dari kemarin-kemarin," keluh Helen. "Lo ketemu Yangyang waktu SMA, kan?"

"Iya," sahut Regina yang sudah mengambil pembersih makeup lalu duduk kembali di kursi meja makan untik menemani obrolan Helen.

"Tahu dari mana kalo dia mate lo?"

"Feeling. You just know that way," jawab Regina sambil memakai cleansing balm ke wajah. Makeup perlahan luntur, menjadi cairan warna gelap yang bercampur-campur. "Lo pasti tau, Len."

"Kalo ternyata salah orang?"

"Kan lo bisa konfirmasi ke dia, perasaannya sama gak? Gak mungkin cuma salah satu dari kalian yang ngerasa." Regina pergi berbalik ke sink untuk membersihkan wajahnya dari minyal yang melunturkan makeupnya. Air terdengar deras. Tangannya mengusak wajah, membersihkan makeup yang masih menyisa lengket dan perlu dibersihkan lagi dengan micellar water.

Helen diam. "Tapi lo juga tau kan, kita bisa mutusin takdir mate?"

Regina mematikan keran air. Sebelah tangannya memegang tissue untuk menyeka air yang masih mentes di wajahnya. Ia berbalik badan, menghadap Helen yang kelihatan gusar. Ia mengerti ke mana pembicaraan ini akan bermuara.

Omega Bau KleponTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang