Domestik

1.9K 232 40
                                    

Apartemen Marvin punya ukuran yang mungkin sedikit lebih besar daripada apartemen yang ditinggali Helen. Dari pintu masuk, Helen langsung dihadapkan dengan dapur di sebelah kiri dan kamar mandi serta ruang laundry di sebelah kanan. Lurus lagi, ada meja makan untuk empat orang. Lalu berbelok ke kanan, ada ruang tamu sekaligus ruang tengah dengan dinding kaca.

Marvin segera sibuk memindahkan gelas-gelas kotor di atas meja makan ke dalam sink. Tangannya meraih bantal sofa yang tergeletak di kaki meja, menepuk-nepuknya sebentar sebelum diletakkan pada tempat yang seharusnya.

Boys will always be boys.

"Sorry berantakan," ucap Marvin setelah menyadari Helen terdiam di dekat dapur apartemennya setelah dipersilakan masuk.

Helen berusaha mengulum senyum, agak bingung mau bereaksi seperti apa. "Nice view..." puji Helen, akhirnya menemukan hal baik dari apartemen di  pusat kota dengan ketinggian dua puluh lantai itu.

Cahaya lampu-lampu komplek gedung-gedung perkantoran kelihatan begitu cantik dari jendela. Posisi unit apartemen yang ada di sudut gedung membuat ruang tamu itu memilih dua dinding kaca. Helen menaksir, harga sewanya pasti mahal.

"Duduk dulu, Len. Aku beresin kamar aku dulu," kata Marvin agak sedikit menyesal ia begitu impulsif untuk mengajak Helen ke tempatnya. Padahal, tempatnya saat ini tidak lebih rapi daripada kandang ayam.

Dengan patuh, Helen duduk di sudut sofa sambil menutupi hidungnya dengan jaket Marvin.

Ruang apartemen itu beraroma seperti perpaduan teh hitam, nipis, sereh, dan sedikit sentuhan gula batu. Tidak heran, mengingat Marvin tidak tinggal sendirian. Aroma nipis, sereh, dan gula batu itu asalnya pasti dari Jere.

Marvin buru-buru pergi ke kamarnya. Ia menghela napas ketika mendapati kamarnya tidak seburuk itu. Hanya ada tumpukan cucian di dalam tas laundry di sudut kamar yang memang belum sempat ia cuci. Ia lalu mengambil selembar seprai baru. Dengan sangat terburu-buru, ia mengganti seprai kasurnya (sejujurnya, Marvin lupa kapan terakhir kali ia mengganti seprainya).

Begitu merasa kamarnya sudah cukup layak untuk Helen tiduri, ia pergi ke lemari, mengambil hoodie, celana pendek, dan handuk baru.

"Kamar mandinya ada di samping ruang laundry," ujar Marvin sambil meletakkan baju ganti untuk Helen di meja.

"Kamu gak mandi duluan?" tanya Helen.

"Aku nanti pake kamar mandi yang ada di kamar Jere," kata Marvin.

Tidak terlalu banyak berpikir, Helen meraih baju ganti dan handuk yang Marvin berikan, lalu pergi ke kamar mandi yang Marvin maksud.

Kamar mandi itu tidak begitu luas, namun cukup untuk Helen bergerak. Tepat di depan pintu, ada meja batu hitam dengan wastafel dan kaca besar. Di sebelah kiri ada bilik shower yang dibatasi dengan pintu kaca. Di sebelah kanan ada kloset.

Sepanjang mandi, Helen berpikir. Sejujurnya, agak bingung. Ia tidak membawa pakaian ganti apapun (karena dia ke sinipun begitu mendadak). Ia tidak mungkin memakai pakaian dalamnya seharian, sehingga satu-satunya pilihan adalah tidak memakai pakaian dalam apapun.

"Ya sudah, lah. Toh Marvin juga sudah lihat semua, kan?" ucap Helen pada dirinya sendiri, menghempas seluruh rasa malu di kepalanya.

Untungnya hoodie yang Marvin berikan memiliki bahan yang cukup tebal sehingga puting payudaranya tidak menyembul dari balik fabrik. Celana pendek yang ia kenakan terasa begitu aneh karena ia tidak mengenakan celana dalam.

Dengan sabun mandi seadanya, Helen mulai mencuci pakaian dalamnya. Ia memerasnya hingga tidak terlalu basah, lalu menggantungnya pada gantungan handuk yang kosong di dekat kloset. Ia berusaha menutupi bra dan celana dalam hitam dengan menggantung handuk tepat di depannya.

Omega Bau KleponTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang