alpha

1.6K 216 12
                                    

"Mendekati omega?" tanya Jamal mengulang pertanyaan anak sulungnya.

Minggu sore itu, Marvin sengaja pulang ke rumah orang tuanya di kawasan Sentul. Seperti hari-hari lain, ia akan mendapati Papa menyiapkan makan malam di dapur sementara Mama masih di kamar, sedang bersolek.

Marvin duduk di depan meja island, memperhatikan Papa yang dengan telaten mengiris bacon. Spageti sudah direbus sejak beberapa saat lalu ketika Marvin tiba di rumah.

"Apa sekarang kamu sudah menyerah dengan prinsipmu?" tanya Jamal sambil tertawa. Ia ingat betapa kokohnya pendirian Marvin yang menolak dikenalkan dengan beta oleh keluarga besar Thiya.

Keluarga besar Thiya adalah keluarga alpha darah murni. Keluarga alpha terpandang dengan silsilah yang secara lengkap tercatat. Masih masuk kategori bangsawan di tengah gempuran modernisasi era. Dan yang terpenting, masih memegang teguh pada kebiasa kuno dan barbar penuh darah dan menomorsatukan alpha. Selain alpha, semua dianggap sampah.

Ia pernah merasa aman dengan berlindung di balik favoritisme kakek terhadap Jere, adiknya. Bagi Kakek, Marvin terlalu mirip Jamal. Lemah dan lembut.

Kakeknya, ayah dari sang ibu, lelaki paling keras kepala dan kolot yang pernah Marvin kenal. Pria tua yang terus-terusan menyodorkan beta dan omega keapa Marvin hanya untuk mengetahui sebrutal apa Marvin ketika rut dan dikuasai oleh insting serigalanya. Sekeras itu pria itu memaksanya, sekeras itu juga Marvin menolak hingga nyaris lepas kendali. Feromon teh nya yang biasa ia tekan hingga terasa hangat dan lembut, hari itu berubah menjadi pekat, pahit, dan menyesakkan hingga tidak ada yang berani membantah Marvin ataupun berusaha menghentikan langkahnya untuk meninggalkan rumah utama. Sejak hari itu, Marvin mendapatkan kebebasannya dan Kakek tidak lagi memaksanya.

Aroma teh rosella dan gula batu yang ringan mengudara, membuat Marvin menoleh ke arah tangga, mendapati Mama yang selalu kelihatan cantik itu turun dari lantai dua dan langsung memeluk Marvin erat serta memberikan ciuman di pipinya.

"Kapan sampe, Vin?" tanya Thiya sambil naik ke kursi tinggi di sebelah Marvin.

Thiya tidak pernah menyentuh dapur. Ia lahir dan dibesarkan sebagai alpha sekalipun ia perempuan. Hanya Jamal yang sesekali membuat makanan di dapur cantik itu. Selebihnya, selalu pelayan yang melakukannya.

"Belum lama, Ma."

"Dateng sendiri? Jere, mana?" Mata bulat besar Thiya berusaha mencari keberadaan anak bungsunya.

"Sama Nara. Mau sama siapa lagi?" Marvin balik bertanya.

Lumah bagi alpha untuk selalu ingin dekat dengan pasangan mereka. Thiya pernah mengeluhkan hal ini ketika Jere mengenalkan Nara kepada mereka dan sejak hari itu Jere tidak lagi pulang ke rumah kalau bukannya karena Thiya menelfon. Si bungsu lebih senang menghabiskan harinya dengan sang mate.

"Seperti kamu yang lebih suka bersama aku daripada pulang ke rumah orang tuamu," kata Jamal sambil tersenyum ketika mendengarkan keluhan Thiya.

Perempuan itu tidak menampik. Seperti sebuah kutukan yang datang bersama kekuatan besar bahwa setiap alpha akan seperti itu terhadap pasangannya. Tidak terkecuali Thiya.

"Marvin cerita, dia mau ngedeketin omega," kata Jamal menyambung pembicaraan sebelumnya dengan Marvin.

"Marvin?" Thiya menatap anaknya dengan menelisik. Hidungnya mengendus tubuh Marvin. Tidak banyak yang bisa ia dapati kecuali aroma pekat teh hitam khas feromon Marvin.

Marvin menghela napas. "Aku udah ketemu sama mate aku," akunya menarik perhatian Thiya dan Jamal.

"Sungguh?" Senyum di wajah Thiya melebar. Setelah sekian lama, akhirnya ia mendengar kabar baik ini. "Bagaimana orangnya? Sudah kamu tandai? Tapi Mama tidak mencium apa-apa dari kamu."

Omega Bau KleponTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang