kecewa

2K 252 23
                                    

Helen memeluk gulingnya erat. Ia berbaring miring. Ponsel di tangannya masih menyala, berjarak begitu dekat dengan matanya.

Sebuah pesan singkat baru saja masuk dari Marvin, menanyakan apakah ia sudah tidur atau belum. Ingin rasanya Helen tidak menjawab, tapi pesan itu terlanjur ia buka dan baca. Tanda centangnya sudah berubah menjadi biru. Mau tidak mau, harus Helen balas.

Sudah lewat beberapa hari sejak pertemuannya dengan Marvin. Meski sama-sama tahu kalau mereka adalah mate, mereka sepakat untuk memulai semuanya dengan perlahan. Marvin tidak ingin buru-buru. Helen juga takut menyerahkan dirinya ke tangan alpha (ya meskipun sampai hari ini Helen masih meragukan status alpha Marvin).

Mau dilihat berapa kalipun, Marvin tidak tampak seperti alpha kebanyakan. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Pipinya agak tembam. Dengan potongan rambut yang dibiarkan jatuh menutupi dahi dan kacamata bulat, Marvin kelihatan seperti laki-laki yang mudah ditindas.

Satu-satunya yang membuat Helen yakin kalau ia adalah alpha melalui aroma feromonnya yang pekat itu. Meskpun kelihatan Marvin mencoba menahan feromonnya sendiri, tapi aura intimidatif itu masih ada.

Intimidatif yang entah bagaimana membuat jiwa omeganya menjadi merasa tenang di saat yang bersamaan.

Ting!

Helen menoleh ke layar ponselnya lagi. Sebuah pesan suara yang diikuti dua pesan lain dari Marvin membuatnya tercenung.

.
.
.

"Re," panggil Helen.

"Hm?" gumam Regina sambil menuangkan air panas ke cangkir.

"Memangnya mate bisa saling ngerasain perasaan masing-masing, ya?" tanya Helen. Matanya melihat bagaimana Regina menaik-turunkan kantung teh di gelasnya, membuat air panas perlahan berubah menjadi kecoklatan diiringi dengan aroma yang mengingatkannya pada Marvin.

"Bisa." Regina menatap Helen yang duduk di kursi samping. "Kenapa? Lo ngerasa mate-bau-teh lo itu kenapa-kenapa?"

Helen menggeleng lesu. Ia duduk di kursi meja makan. "Dia yang ngerasa gue kenapa-kenapa."

Regina mengerjap.

"Kita kan belum saling nandain, kok udah bisa terasa, sih? Skinship paling jauh yang pernah kita lakuin juga cuma jabat tangan."

"Itu ajaibnya hubungan antarmate. Nggak selalu dengan menandai, ikatan kalian bahkan bisa terbentuk hanya dengan tatapan mata." Regina membawa cangkirnya hati-hati ke seberang meja agar bisa bertatapan dengan Helen. "Kalo udah ditandai, ikatannya makin kuat sampai tahap kalian bisa saling membaca pikiran masing-masing."

Helen menunduk. Tangan kirinya menopang dagu, sedang tangan kanannya memegang garpu, mengaduk-aduk salad yang baru setengah ia makan.

"Kenapa?"

Helen menghela napas. Ia mendongak, membalas tatapan penuh tanya Regina. "Sebelum ketemu Yangyang, lo punya ekspektasi tertentu nggak tentang dia?"

"Ada, lah."

"Terus? Sesuai gak?"

"Hmm..." Regina mengambil selembar roti tawar, mengolesnya dengan selai blueberry. "Delapan puluh persen sesuai. Dua puluhnya mungkin nggak. Tapi yang namanya hubungan, ya memang harus tolerasi, sih."

Regina mengigit ujung rotinya. "Kenapa, sih? Lo dari tadi nanya mulu. Gue jadi makin penasaran."

"Gue ngerasa mate gue nggak sesuai bayangan gue," jawab Helen lalu kembali menghela napas lagi. "Kayanya perasaan gua ini terasa sama dia, makanya kemarin dia ngirimin gue voicenote. Gimana gua nggak makin merasa bersalah?" Helen menunjukkan pesannya kemarin malam dengan Marvin yang tidak ia balas.

Omega Bau KleponTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang