Cinta Pertama

909 171 40
                                    

Kalau memang takdir semua manusia terikat pada benang merah yang disebut mate, kenapa mereka masih bisa jatuh cinta dengan orang lain yang bukan matenya? Bukankah itu hanya akan menciptakan kekacauan?

Gabbie sendiri tidak paham kenapa jantungnya berdetak begitu cepat mana kala kedua mata bulat Marvin memandangnya begitu lekat saat jam istirahat hampir berakhir.

"Ke-kenapa?" tanyanya gugup.

"Sejak kapan ada tahi lalat di ujung mata kamu?" tanya Marvin.

Jari Gabbie sontak menyentuh titik hitam di bawah matanya. "O... oh... aku gak sadar sejak kapan itu ada. Tahu-tahu sudah begitu," jawab Gabbie.

"Kaya Jere," lanjut Marvin sambil nyengir. "Waktu lahir juga dia gak punya tahi lalat di mata. Tahu-tahu waktu kita SD, kita baru sadar kalau sudah ada."

Gabbie hanya bisa tersenyum gugup.

Ia tahu, ia jatuh cinta pada binar mata bundar alpha muda itu. Sosok beraroma teh hitam yang sesaat sempat Gabbie harapkan mungkin akan menjadi pasangannya. Nyatanya, aroma melati itu tidak pernah datang bersama Marvin. Kenyataan menjadi semakin jelas ketika Marvin menghilang selama seminggu dan akhirnya kembali ke sekolah setelah rutnya berakhir dan cerita tentang aroma kelapa, gula merah, dan pandan yang menemani sepanjang rutnya.

Gabbie bukan takdir Marvin.

Ia cukup sadar diri untuk memendam perasaannya dalam-dalam, menerima kenyataan.

Kalau ia tidak bisa menjadi mate Marvin, paling tidak ia bisa menjadi teman yang baik bagi Marvin, kan?

.
.
.

"Udah siap?" tanya Marvin memastikan Helen dan tetek bengeknya yang banyak itu sudah siap untuk berangkat ke bandara sore ini.

"Udah. Yuk berangkat," jawab Helen sambil memasang seatbelt.

Sore hari itu, di tengah minggu, akhirnya Marvin yang menemani Helen untuk menjemput orang tuanya di bandara. Dua hari lalu, Miguel mengabari Helen kalau hotelnya kedatangan tamu VVIP yang membuat Miguel terpaksa lembur. Akhirnya, Helen meminta bantuan Marvin untuk menemaninya.

Tentu saja Marvin tidak pikir dua kali dalam mengiyakan permintaan Helen. Bahkan ia menyempatkan untuk mencuci mobilnya lebih dulu sebelum berangkat. Aroma lemon segar menguar dari pengharum mobil yang menggantung di depan AC.

Jalan toll sore itu macetnya bukan main karena berbarengan dengan jam pulang kantor. Untungnya Helen sempat membeli roti sobek rasa coklat dan minuman dingin untuk di perjalanan. Marvin dan jam makannya yang tidak boleh telat itu kadang membuat Helen harus siap dengan makanan.

"Aaa..." 

Helen menyuapi Marvin sepotong roti yang langsung dilahap alpha itu.

"Kenapa gak makan sendiri, sih?" tanya Helen. Tapi jawaban Marvin hanya mengedik bahu sambil menunjukkan kedua tangannya yang memegang roda kemudi. Padahal Helen tahu jelas kalau Marvin bisa makan sendiri.

"Kan ada kamu," jawab Marvin kemudian meraih tangan kanan Helen lalu mengecupnya sambil cengar-cengir.

"Si Manja."

Iya, itu panggilan Helen buat Marvin sekarang. Si Manja. Marvin sama sekali tidak keberatan dengan panggilan itu. "It sounds cute," komentarnya yang membuat Helen memutar mata, tapi tidak memperpanjang masalah.

Pertemuan pertama kali dengan kedua orang tua Helen membuat Marvin gugup sekaligus semangat. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang, ingin buru-buru bertemu.

"Orang tua kamu kaya gimana?" tanya Marvin di sela-sela kemacetan jalan.

"Hmm... Papa nggak terlalu banyak ngomong, tapi lumayan ramah ke orang. Kalo Mama lebih ramah ke orang dibanding Papa," jawab Helen. "Waktu Kakak pertama kali ngenalin Kak Winna, respon mereka baik-baik aja. Mungkin karena mate juga. Jadi ya... mau mereka nolak juga nggak bisa, kan?"

Omega Bau KleponTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang