omega bau klepon

5.1K 325 19
                                    

Marvin sudah melewati tujuh tahun siklus rutnya seorang diri. Tanpa kekasih, tanpa mate. Dia selalu menjaga dirinya dengan tidak berganti-ganti pasangan. Tidak seperti Jere, adiknya, yang dengan serampangan mengambil beta untuk menemani rutnya sebelum bertemu dengan matenya.

Bukan apa-apa. Marvin juga tidak ingin dianggap suci. Dia tidak sesuci itu. Ia pun sempat terpikir untuk menyewa beta atau omega untuk melewati rutnya yang menyakitkan.

Hanya saja, setiap kali ide itu melintas, ingatan tentang aroma pandan, kelapa, dan hangatnya gula merah selalu membuat Marvin urung. Ia merasa, matenya tidak akan suka untuk berbagi pasangan. Maka Marvin menghindari itu.

Kalau ditanya, bagaimana dia bisa tahu, Marvin hanya akan menjawab, "Feeling."

Jere mengernyitkan dahi, menatap kakaknya dengan tatapan aneh. Padahal semua orang juga tahu kalau Marvin belum menemukan matenya.

Meski selalu diledek bodoh oleh Jere, Louis, dan Harry, Marvin tidak peduli sehingga julukan Alpha Perjaka kini menggantung di belakang namanya.

.
.
.

Sniff... sniff...

Marvin mengendus udara.

Ia menciumnya lagi, perpaduan bau pandan, kelapa, dan gula merah hangat itu mendadak mengudara ketika ia mengelilingi mall di akhir pekan. Seketika jiwa primitif serigalanya muncul. Ia bergerak liar, melewati orang-orang yang menjadi panik, mengikuti instingnya untuk mendekati sumber aroma itu.

"Ada omega heat!" seru seseorang panik.

"Tahan temen lo, anjir!" seru Harry berusaha menahan Marvin yang menggila, berusaha mengejar bau manis itu yang seakan sedang memanggilnya.

Bau feromon omega itu hanya bisa memancing alpha yang belum terikat dengan mate mereka. Untungnya, Louis dan Jere sudah terikat, sedangkan Harry seorang beta sehingga ia tidak terpengaruh sama sekali.

"Itu omega gue!" seru Marvin berusaha melawan ketiga teman yang menahannya.

"Nggak, Vin. Lo gila! Ini karna dia lagi heat!" bentak Jere.

Kekacauan itu segera hilang ketika omega yang bersangkutan masuk ke dalam ambulans dan di bawa ke rumah sakit terdekat. Berangsur-angsur, feromon manis yang menguasa udara turut hilang.

Marvin terduduk lemas di kursi. Jiwa serigalanya menjadi sedih dan sakit meraung-raung dalam hati.

"Nih, minum," kata Louis sambil menyodorkan sebotol air mineral yang tutupnya sudah dibuka.

Marvin meminumnya sambil terus berpikir.

Ia tahu dalam hati, itu omeganya.

.
.
.

"Waktu lo ketemu Nara, rasanya gimana?" tanya Marvin pada Jere pada suatu pagi di tengah sarapan.

"Seneng."

Tangan Jere mengambil selembar roti tawar lalu mengoleskan selai coklat ke atasnya.

"Itu doang?"

"Senengnya tuh lain. Kaya lo ngerasa lengkap aja. Bau feromonnya jadi bau paling enak yang pernah lo cium. Dan lo jadi tertarik dan suka banget sama baunya." Jere melipat rotinya jadi dua sebelum mengigit ujungnya. "Menurut lo, feromon Nara baunya gimana?"

Marvin berusaha mengingat-ingat aroma dari mate adiknya itu. "Manis. Kaya bau permen mint campur gula batu."

"Enak gak?"

"Enak."

Jere berhenti mengunyah, menatap kakaknya tidak percaya. "Kita nggak mungkin berbagi mate, kan?"

"Nggak, lah!" jawab Marvin cepat. "Baunya enak, tapi ya... udah. Nggak bikin tertarik yang gimana-gimana."

Jere mengangguk. "Nah, gitu. Gua suka baunya Nara. Rasanya nyium bau feromon Nara itu bikin perasaan tenang."

Marvin masih tidak mengerti.

"Kenapa? Ada bau yang bikin lo tertarik?"

"Bau omega yang waktu itu."

Jere menghela napas. "Percaya sama gue, lo cuma lagi terpengaruh sama feromon heat omega."

"Kok lo seyakin itu?" Dahi Marvin mengerut.

Mulut Jere masih penuh dengan roti ketika ia mengatakan, "Lo harus ketemu dia waktu dia nggak heat untuk bener-bener ngelihat dia beneran mate lo atau bukan dan seberpengaruh apa baunya sama lo. Karena yang tertarik harus dua-duanya. Lo suka feromon dia, dia suka feromon lo."

Marvin terdiam. Bagaimana caranya ia bertemu lagi dengan omega itu?

.
.
.

Dewi Bulan sepertinya sudah puas mempermainkan Marvin selama bertahun-tahun ini yang mencoba bertahan melawan rutnya.

Ketika Marvin menyelesaikan siklus rutnya yang kedelapan, akhirnya ia bertemu dengan omega berbau pandan, kelapa, dan gula merah itu.

Mata Marvin terbuka seutuhnya ketika Nara mengenalkan Helen, temannya.

Helen, perempuan berkulit tan dengan rambut pendeknya yang membuat wajahnya kelihatan bulat, pipi memerah, dan senyum lebar itu berbau sama persis seperti bau yang selama ini terus-terusan mengganggu Marvin.

"Helen," katanya sambil menyodorkan tangan.

Marvin berdehem sebelum membalas jabat tangan itu. "Marvin."

Tangannya lembut, lembab, dan hangat, persis seperti lelehan gula merah yang dipanaskan.

"Dia baru pindah ke sini dua minggu lalu, jadi daripada sendiri, mending dia ikut sama kita aja," kata Nara tanpa mengerti sinyal-sinyal yang mengudara.

Jere menepuk dahi. Matenya memang kadang kurang peka.

Melihat bagaimana Marvin dan Helen tidak bisa melepaskan pandang dari satu sama lain, Jere mengambil satu kesimpulan. "Ra, kita pergi aja. Biar Marvin sama Helen dulu."

"Eh, kok gitu?" Nara mengerjap bingung. Tapi Jere terlanjur menarik tangannya keluar dari cafe dan sama sekali tidak dipedulikan oleh sepasang alpha dan omega itu.

Marvin mengambil napas dalam-dalam. Mencium aroma pandan, kelapa, dan gula merah yang mendadak membuat hatinya jadi begitu riang.

Marvin tahu, ini omeganya.

.
.
.

Bersambung...

Thanks to twitter. Aku terinspirasi dari sini :

 Aku terinspirasi dari sini :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Omega Bau KleponTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang