Enigma

1.5K 219 18
                                    

Tangan Helen menggenggam ujung lengan jaket Marvin erat. Pheromone alpha yang bercampur terasa pekat dekat seiring dengan langkah Helen mendekati ruang makan.

Ruang makan itu luas dengan sebuah meja panjang yang terbuat dari kayu jati mampu menampung hingga dua puluh orang. Dua chandellier menggantung di langit-langit ruang makan. Salah satu dindingnya penuh dengan foto-foto tua yang Helen tidak kenali beserta hiasan era medieval dengan lekukannya yang elegan sekaligus misterius, seolah menyimpan sisi magisnya tersendiri.

Ruangan itu awalnya ramai, sampai akhirnya Helen dan Marvin melangkah masuk. Semua orang seketika hening dan menempatkan matanya pada Helen yang mengkeret takut di balik punggung Marvin. Pegangan tangannya semakin erat dan terasa basah oleh keringat. Bunyi langkah kakinya terdengar semakin nyaring saking heningnya ruangan itu.

Tidak ada yang Helen kenali di meja itu selain Jacqueline, Jamal, dan Thiya yang sudah lebih dulu ia jumpai.

Helen duduk di samping kiri Jamal. Marvin duduk di sebelah kirinya, dekat ujung meja di maja seorang kakek tua duduk.

Meja makan itu penuh dengan makanan. Dua ekor kalkun panggang ada di tengah dan juga daging iga entah dari sapi atau kambing, Helen tidak tahu, yang dibakar dengan bumbu kecoklatan.

"Mari makan," ucap kakek tua di ujung meja, mempersilahkan seluruh tamu.

Helen diam menunggu gilirannya untuk mengambil makanan meskipun ia sama sekali tidak berselera. Ia mendekatkan diri pada Marvin, berusaha menghirup aromanya di tengah terjangan pheromon dominan di sekelilingnya.

"Kamu mau ayam atau domba?" tanya Jamal.

Helen menoleh, baru sadar kalau Jamal bertanya pada Thiya yang duduk di sebelah kanannya.

"Aku mau domba dan mash potato," jawab Thiya.

Dengan patuh Jamal mengambil potongan daging domba dan kentang tumbuk ke piring Thiya. Tak lupa, ia menambahkan asparagus dan tomat ceri.

"Len, kamu masih megangin tangan aku," bisik Marvin.

"Sorry." Segera Helen melepaskan pegangannya.

"Mau yang mana?" tanya Marvin.

Mata Helen tidak bisa lepas dari ayam kalkun utuh berukuran besar di depannya. Kulitnya yang mengkilap kecoklatan kelihatan garing sekaligus juicy. Aroma biji pala, rosemary, thyme, dan sedikit clementine menggoda penciuman Helen.

"Mau kalkun?" tanya Marvin ketika sadar kemana arah pandang Helen.

Dengan malu-malu, Helen mengangguk.

Marvin tanpa keberatan memotong paha kalkun dan meletakkannya ke piring Helen. Untuk Marvin, selama Helen kelihatan nyaman dengan tindakannya, ia tidak akan merasa tersinggung.

Sayangnya, tidak semua Alpha berpikir seperti itu.

Tindakan Marvin mengundang kernyitan dahi bingung sekaligus jijik dari seluruh keluarga, terutama Kakek.

"Marvin, kamu itu seorang alpha. Jangan bertindak seperti beta," ujar Kakek dengan suara tenang namun menusuk.

Jamal bungkam.

"Ini akibatnya kalau Papa tidak mengambil Marvin saat bayi. Alpha, tapi perilakunya seperti beta," imbuh Tristan. "Kalau Jere, pasti tidak begitu."

"Kalau bukan karena aku koma waktu itu, aku juga tidak akan membiarkan kalian merawat Jere," jawab Thiya kesal. Pheromone rosella miliknya yang biasa tercium anggun, kini kerasa kecut dan pahit. "Kalian yang mengambil Jere dari kami."

"Ini untuk kebaikan Jere sendiri. Apa kamu tidak lihat, Marvin jadi lembek seperti itu karena dia melihat beta sebagai panutannya. Mana bisa alpha seperti itu?" jawab Tristan tidak kalah menyebalkannya.

Omega Bau KleponTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang