"Shafa?" panggil Elis seraya mengetuk pintu. "Ayo, makan dulu!" ucapnya kemudian.
Kalau tidak ingat saat ini sedang di rumah Elis, rasanya Shafa malas sekali untuk bertatap muka dengannya.
"Shafa?" Elis kembali memanggil.
"Iya, Tan." Shafa beranjak setelah membersihkan wajahnya dari sisa-sisa air mata kemudian membuka pintu. "Shafa belum lapar, Tan. Tante sama Ayah makan duluan saja!" katanya.
"Eh, makan dulu. Tante sudah masakin makanan kesukaan kamu." Elis menahan Shafa yang akan kembali mengurung diri. "Ayok!" ajaknya sambil menarik tangan gadis itu.
Dengan sangat terpaksa, Shafa mengikuti langkah Elis. Ia yakin, wanita penggoda itu juga pasti berada di sana.
"Tuh, ada cumi saus tiram sama nila bakar kesukaan kamu." Elis menunjuk hidangan yang memang menjadi makanan favorit Shafa.
Shafa hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan tantenya. Kalau saja ayahnya tidak kembali berulah, makanan yang sudah disiapkan Elis sudah pasti dengan semangat ia habiskan. Namun, hatinya terlanjur sakit dan membuat selera makan gadis itu lenyap seketika.
"Ayo, Shafa! Kok malah dipelototin." Elis menarik salah satu kursi lalu membimbing Shafa agar duduk di sana.
"Nih, ikannya sengaja Tante beliin yang gede, soalnya teringat tahun lalu pas lebaran kamu merajuk gara-gara ikan yang kamu pilih dihabisin Aira," kekeh Elis mengenang kejadian yang lalu. Kemudian tangannya sibuk mengambil ikan yang paling besar untuk keponakannya.
Shafa lagi-lagi hanya tersenyum samar menanggapi ucapan Elis. "Makasih, Tan, sudah repot-repot menyiapkan semua ini," ucapnya dengan perasaan getir.
Elis mengangguk lalu mendudukkan dirinya setelah selesai melayani Shafa yang sudah seperti putrinya sendiri.
"Ya sudah. Ayo, makan, makan." Bayu menyudahi obrolan dan menyuruh fokus pada makanan masing-masing.
***
"Shafa, kamu bicara apa sama ibumu?" Bayu membuka pintu dengan keras. Raut wajahnya menampilkan kemarahan hingga terlihat sedikit memerah.
Shafa memejamkan matanya, bersiap menunggu sang ayah memuntahkan api kemarahannya.
Setelah makan, Shafa memang memutuskan kembali ke kamar lagi sambil menunggu Aira--kakak sepupunya pulang dari kantor. Karena keberadaan wanita perebut itu, ia merasa malas berbasa-basi lama dengan Elis. Ia lebih memilih mengurung diri di kamar dan tidak peduli jika tantenya itu menganggap dirinya tidak sopan atau apa. Saat ini, ia hanya ingin segera enyah dari rumah itu.
"Shafa!" Bayu semakin mengeraskan suara, sebab Shafa tidak kunjung bicara.
Elis dan Indira yang sedang mengobrol tersentak mendengar teriakan Bayu. Keduanya saling pandang sebentar, lalu memutuskan untuk menyusul Bayu ke kamar di mana Shafa berada.
"Ada apa, Bayu? Kenapa berteriak pada Shafa?" tanya Elis ketika sudah sampai di kamar itu. Ia pun mendekatkan diri pada adiknya dan menatapnya bergantian dengan Shafa.
Sementara Indira, wanita itu hanya berdiri di depan pintu, tanpa berani masuk.
"Shafa mau pulang, Tan. Shafa tidak mau kuliah lagi--"
"Shafa!" Bayu memotong ucapan Shafa. "Kamu kenapa selalu saja seperti ini? Keras kepala dan selalu melakukan semuanya sesukamu!" Lelaki itu menatap tajam ke arah putrinya.
Amarahnya terasa ingin meledak saat mendengar keputusan sepihak Shafa. Mereka sudah sampai sejauh ini, tapi dengan mudahnya Shafa mengatakan ingin pulang dan tidak ingin kuliah.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.