Aku meringis. Merintih, penuh kesakitan. Apakah keputusanku menutupi semuanya adalah kesalahan. Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar takut melihat Ibu kembali terluka. Aku begitu takut membuat Ayah merasa paling bersalah atas apa yang menimpaku. Aku takut ... semua tak lagi sama setelah Ibu tau segalanya. Aku takut ... sangat-sangat takut.
Ada begitu banyak ketakutan di hati, tapi jika sudah seperti ini, masihkah Ibu akan percaya padaku nanti?Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Aku harus menemui Ibu dan menyelesaikan semua sebelum Ayah dan kedua adikku pulang.
Aku bangkit dan menghapus sisa-sisa air mata. Kali ini, tidak boleh ada air mata lagi. Kuat. Aku harus kuat.
Langkahku mantap menuju kamar Ibu. Setelah beberapa kali mengetuk pintu, tapi Ibu tidak jua membukanya. Aku memberanikan diri menarik handle pintu. Seketika hanya kekosongan yang terlihat. Tidak ada Ibu di sana. Lalu, Ibu ke mana?
Aku bergegas ke dapur, tapi nihil. Ibu tidak juga berada di sana. Tidak! Aku tidak boleh berpikir macem-macem. Bukankah masih ada kamar Syifa dan Shofia yang masih belum aku lihat. Aku pun bergegas menuju kamar Syifa lebih dulu. Saat pintu terkuak, lagi-lagi hanya kekosongan yang terlihat. Akhirnya aku menuju kamar Shofia. Semoga saja Ibu ada di sana. Namun, harapanku Ibu berada di sini sia-sia. Kamar adik bungsuku ini pun seperti ruangan-ruangan sebelumnya, kosong.
Ya Tuhan ... Ibu ke mana?
Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Niatan tadi untuk tidak menangis, akhirnya hanya sebatas niatan. Sebab pada akhirnya, rasa khawatir pada Ibu membuat perasaanku tidak keruan. Aku merasa sangat-sangat berdosa pada Ibu. Terlebih lagi air matanya terus menetes."Ibu ...." Akhirnya aku menemukan Ibu, setelah banjir keringat, menelusuri seluruh ruangan rumah berlantai dua ini.
Aku mengatur napas sejenak. Setelah merasa lebih tenang, akhirnya aku membawa langkah mendekat pada Ibu. Rupanya Ibu tengah duduk di gazebo yang terletak di halaman belakang. Pandangan Ibu masih terlihat kosong. Mata itu masih terus menyiratkan luka.
Sekecewa itukah Ibu padaku?
Aku menyentuh pundak Ibu pelan saat sudah berada di dekatnya. Ibu tersentak tapi tidak berniat melihat ke arahku. Ibu seakan-akan sudah menebak aku pasti akan menemui. Ibu tetap pada posisinya, tidak terganggu sedikit pun akan kehadiranku.
"Maaf, Bu," lirihku merasa bersalah.
Aku berjongkok di hadapan Ibu, lalu memeluk kakinya dan membenamkan wajah di sana. "Maafkan Shafa, Bu. Maafkan Shafa ...," racauku dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Aku sudah tidak bisa menggambarkan seperti apa perasaanku sekarang.
Ibu mengelus kepalaku lembut. "Bangunlah, Nak. Jangan seperti ini." Ibu akhirnya melunak.
Aku mendongak dan langsung mendapati senyum manis Ibu.
"Ayok, sini!" Ibu menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya. Aku menggeleng kemudian kembali menenggelamkan wajah di kakinya.
"Maafkan Shafa." Kembali aku merapal maaf dengan lirih.
"Bangunlah, Nak. Sini." Ibu kembali menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya dan menarikku pelan agar bangkit dari posisiku saat ini. Aku pun tidak menolak, sebab tujuanku menemui Ibu adalah ingin membicarakan semuanya agar jelas dan Ibu kembali percaya.
"Sudah siap mengatakan yang sebenarnya?" tebak Ibu tanpa menoleh padaku.
Aku menggigit bibir. Ibu rupanya masih menuntut penjelasan.
"Bu ...," lirihku membuat Ibu menoleh padaku. Senyumnya terurai, kemudian mengangguk mempersilahkan aku memulai. "Sebelumnya Shafa minta maaf, karena sudah menjadi penyebab air mata Ibu menetes. Jujur, Shafa benar-benar takut karena itu," ungkapku. Sekuat tenaga aku menahan buliran bening di pelupuk mata agar tidak sampai menerobos.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.