Bab 20

1K 49 0
                                    

Assalamualaikum, Dear.
Shafa hadir lagi menemani hari kalian. Semoga suka, ya. Dan ... Jejaknya ditinggalin berupa vote dan komen. Follow akun NajwaBella998 juga. Terimakasih, love kalian banyak-banyak ❤️ ❤️❤️

🍁🍁🍁

Aku ikut meneteskan air mata melihat pemandangan haru di depan sana. Di mana Kak Aira dan Mas Rayhan--suami Kak Aira sedang sungkem kepada orang tua mereka. Pemandangan di depan sana seolah membawaku kembali pada peristiwa beberapa bulan lalu, di mana aku dan Mas Reno melakukan persis seperti yang dilakukan Kak Aira dan suaminya.

"Fa?" Ibu memanggil seraya menyentuh pundakku dengan lembut. Aku menoleh pada Ibu yang kini sudah berada di dekatku.

"Apa yang kamu pikirkan, Nak?" tanya Ibu.

"Tidak ada, Bu. Shafa hanya merasa terharu melihat Kak Aira akhirnya sampai pada tahap ini," jawabku sambil menghapus sisa-sisa air mata.

Ibu tersenyum. Entah apa maksud senyuman itu. Aku yakin, Ibu pasti telah salah mengartikan tetesan-tetesan dari air mataku. Meski pada kenyataannya, di satu sisi air mata ini menetes karena teringat pada Mas Reno, tapi di sisi lain,  aku benar-benar merasa haru melihat Kak Aira terlihat sangat bahagia.

Ibu mengusap-usap punggungku. "Tuh, dipanggil Aira," ucapnya membuatku mengalihkan pandangan ke depan.

Terlihat Kak Aira yang sedang melambaikan tangan ke arahku. Rupanya acara sungkeman sudah selesai. Karena terlalu larut pada ingatan tentang Mas Reno, aku sampai tidak sadar. Aku mengembangkan senyum pada Kak Aira dan gegas menggandeng tangan Ibu agar ikut denganku.

"Kakak ...." Aku langsung histeris dan menubruk tubuhnya. Memeluk dengan sangat erat.

"Shafa ...," lirihnya membalas pelukanku tak kalah erat. Ia seakan menumpahkan segala resahnya di pundakku.

"Barokallah lakuma wabaroka alaikuma wa jama'a baina kuma fii Khoir, kakakku." Doaku tulus. "Selamat, Kak, semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah. Bahagia selalu," lanjutku lagi.

Kak Aira semakin mengeratkan pelukan. Seolah-olah menyalurkan kekuatan, sebab ia pasti tau, saat ini hatiku pasti sedang merasai luka.

"Kamu juga harus bahagia, Sayang. Harus bahagia," ucapnya.

Aku melerai pelukan lalu mengangguk. Aku pun mundur, memberi tempat pada Ibu yang hendak mendoakan Kak Aira juga. Setelah meminta restu pada semua keluarga, aku pun membantu Kak Aira menuju pelaminan yang terletak di halaman belakang. Halaman belakang Tante Elis yang sangat luas memantapkan pilihan Kak Aira untuk menggelar resepsi di sini saja. Sementara Tante Elis sempat tidak setuju. Namun karena Kak Aira bersikeras dan beberapa keluarga juga mendukung, akhirnya Tante Elis mengalah.

Maka di sinilah kami, halaman belakang yang kini di sulap bagai istana bunga. Keindahan serta kemewahan berpadu membuat mata siapa pun yang memandang akan takjub, termasuk aku. Aku benar-benar dibuat tercengang sekaligus terpesona pada dekorasi dari tangan-tangan dingin EO pilihan Tante Elis. Kak Aira anak satu-satunya Tante Elis. Sudah pasti Tante Elis akan memberikan yang terbaik untuk hari bahagia putrinya.

Aku memperhatikan Mas Rayhan yang sangat lekat memandangi Kak Aira yang tengah berjalan ke arahnya. Terlihat sekali ada banyak cinta di pancaran mata itu.

Ah ... lagi-lagi aku kembali teringat pria brengsek itu. Tatapannya juga dulu seperti itu. Terlihat memuja, hingga membuatku lupa segalanya dan kini ... berakhir mengenaskan.

Astaghfirullah!

Bagaimana bisa aku membandingkan pernikahanku dengan pernikahan Kak Aira. Tidak! Kak Aira tidak boleh merasakan apa yang kurasakan. Kak Aira pasti akan bahagia bersama suaminya. Wanita baik sepertinya pasti akan mendapatkan pasangan yang terbaik juga. Pasangan yang kelak akan menjaga serta melimpahkan banyak rasa cinta padanya. Ia sudah terlalu lama memendam luka. Dan saat ini, saat inilah kebahagiaan itu mendatanginya.

RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang