Bab 30

1.2K 78 4
                                    

Setelah merasa sudah cukup menasehati kedua putrinya, Aisyah pun beranjak meninggalkan kamar tersebut. Ia berharap, setelah mendengar petuah-petuah darinya, Syifa dan Shofia segera berdamai dan ikhlas dengan keadaan mereka saat ini, agar putri sulungnya tidak sampai merasa bersalah.

Sepeninggal ibunya, air mata Shofia kian deras. Gadis itu menangis dalam diam, dalam pelukan Syifa. Shofia yang tadinya mantap memilih ikut dengan Shafa, kini terlihat rapuh. Harusnya Syifa yang berada dalam posisi Shofia saat ini, sebab ialah yang sempat terlihat ragu untuk ikut dengan Shafa sebelumnya. Namun, gadis itu memiliki hati yang sangat luas, hingga dapat menyimpan banyak kalimat-kalimat maaf yang membuatnya begitu mudah berdamai dan menerima setiap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan padanya.

"Jangan seperti ini. Kak Shafa akan merasa bersalah nanti." Syifa memperingatkan adiknya yang tidak kunjung jua tenang. "Ikhlas, Sayang ... ikhlas! Kita pasti kuat dan mampu menjalani semuanya," imbuh Syifa seraya mengusap sudut-sudut mata adiknya.

Shofia tidak mengatakan apa pun. Ia terus bergeming, hingga berpuluh-puluh menit berlalu. Gadis itu mulai lelah dan kini merebahkan diri di atas tikar usang yang ia ragukan kebersihannya, memunggungi sang kakak.

Syifa menarik napas dalam, kemudian menyusul adiknya, merebahkan diri. Mengistirahatkan badan yang terasa remuk akibat menempuh perjalanan yang sangat jauh dengan pikiran-pikiran tidak menentu. Ia memeluk tubuh Shofia yang masih terus terisak, mengusap-usap lembut kepala adiknya itu agar segera mendapatkan ketenangan.

***

Aisyah membentangkan tikar di ruang tamu. Menunggu Shafa yang masih tengah khusuk bercumbu dengan Rabbnya. Sepuluh menit berlalu, wajah teduh Shafa seketika terlihat pandangan Aisyah. Wanita paruh baya itu tersenyum, menyambut putri sulungnya.

"Loh, Ibu belum tidur?" tanya Shafa saat sudah mendaratkan bobot tubuhnya di sisi sang ibu.

"Belum. Ibu nunggu kamu," jawab Aisyah lembut.

"Ya sudah, ayo tidur, Bu. Udah cukup larut ini." Shafa menyalakan ponselnya sebentar untuk melihat jam. Menunjukkan pukul sebelas malam.

Aisyah hanya mengangguk. Shafa pun merebahkan diri.

"Loh, Bu ...." Shafa mendadak terbangun, mendapati ibunya kini tengah memijat lembut kakinya.

"Gak, papa, Nak. Kamu pasti capek, kan?" jelas sang ibu.

Shafa memang merasa sangat-sangat capek. Seluruh persendiannya seperti terasa ingin lepas. Tapi gadis itu sebisa mungkin menutupi.

"Shafa gak capek, Bu. Ayo, kita sama-sama istirahat!" pungkas Shafa.

Aisyah tersenyum, namun tangannya masih belum terlepas dari kaki Shafa. Ia masih terus memijat-mijat lembut dan membuat Shafa rileks seketika.

"Sudah, Bu. Shafa udah merasa enakan. Terima kasih, ya," ujar Shafa setelah beberapa menit membiarkan ibunya memijat kakinya.

Aisyah kembali tersenyum. Tangannya pun sudah tidak menyentuh kaki Shafa lagi. Wanita itu ikut merebahkan tubuhnya di sisi Shafa. Keduanya tidak banyak bicara lagi, sebab rasa ngantuk dan capek yang tengah menggulung secara bersamaan dalam diri mereka, membuat lelap seketika menghampiri.

***

Pukul setengah empat pagi, Shafa sudah terbangun. Dengan langkah penuh kehati-hatian, gadis itu berjalan dan menuju kamar. Tangannya terangkat untuk menarik handle pintu dengan gerakan yang teramat pelan, agar tidak sampai menimbulkan suara apa pun yang membuat ketiga orang tercintanya bangun.

Gadis itu mulai mengambil tumpukan pakaian kotor yang sudah dipisahkan semalam, kemudian membawanya ke kamar mandi untuk ia cuci. Meskipun ia terlahir dari keluarga yang bercukupan dan segala sesuatu yang ia butuhkan telah disiapkan, tetapi untuk masalah mencuci, gadis itu tidak perlu diragukan. Sewaktu dulu, saat masih sekolah, ibunya selalu memerintahkannya agar mencuci seragam sendiri dan kini ia bersyukur atas semua itu. Ia tidak perlu merasa kebingungan atau pun kesulitan lagi akibat tidak paham dengan dunia percucian.

RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang