"Keretakan dalam rumah tangga Roni dan Indira memang sudah mulai terlihat sejak setahun terakhir sebelum peristiwa itu terjadi. Terlebih lagi saat Indira semakin banyak menuntut. Indira ingin seperti teman-temannya, yang bisa pergi ke luar negeri. Indira ingin seperti teman-temannya, memiliki rumah yang megah, mobil mewah dan barang-barang mewah lainnya. Indira capek dan merasa bosan menjalani hidup yang menurutnya serba pas-pasan." Bik Lisna mulai bercerita sambil menerawang jauh.
"Mereka sering bertengkar, tidak peduli situasi dan kondisi. Bahkan tidak jarang di depan Nadira mereka saling berteriak," lanjutnya lagi seraya menarik napas berat. Sorot matanya mulai meredup saat mengingat kejadian-kejadian yang mungkin kembali menguak luka-luka yang belum sepenuhnya kering.
Aku jadi teringat ucapan Mas Reno yang pernah mengatakan kalau Bik Lisna teramat menyayangi mereka, layaknya anak sendiri. Sebab hampir dua puluh tahun menunggu, barulah keluarga kecil Bik Lisna diberi keturunan, yaitu Dinda. Kakak dari Bunda ini mencurahkan begitu besar kasih sayangnya pada kedua ponakannya, Mas Reno dan Mas Roni. Bahkan setelah Dinda lahir pun, kasih sayang dari Bibik tidak berubah.
Nadira?
Aku juga kembali teringat pada gadis kecil yang malang itu.
"Berulang kali Indira meminta cerai, tapi Roni tidak pernah mengabulkan. Ia sangat mencintai Indira dan tidak ingin Nadira harus merasakan sakitnya akibat perceraian. Roni terus berusaha memberikan yang terbaik untuk Indira tapi Indira seolah-olah tidak melihat semuanya. Ia lebih memilih pergi dari rumah, meninggalkan suami serta anaknya. Tidak lama setelah kepergiannya, sekitar lima bulan, tersiar kabar bahwa Indira menikah lagi. Padahal saat itu Indira masih berstatus istri Roni."
Bibik kembali melanjutkan, membuatku tersadar dari lamunan. Aku seketika membekap mulut, mendengar kenyataan demi kenyataan yang Bik Lisna ungkapkan.
"Roni marah. Sangat marah. Ia merasa harga dirinya benar-benar diinjak-injak oleh Indira. Terlebih setelah apa yang ia upayakan agar rumah tangganya tetap utuh. Ditambah lagi saat itu Nadira sakit karena terlalu merindukan ibunya. Kami terus menasehati agar tidak terlalu menurutkan emosi dan bersyukur, saat itu ia masih mendengarkan. Hampir dua bulan setelahnya ia bersabar, berharap Indira kembali. Namun, semua harapannya hancur bersamaan dengan datangnya Indira membawa surat cerai. Entah apa yang ayahmu janjikan pada Indira, hingga begitu teganya pada Roni."
Aku menggeleng lemah.
"Ah, Bibik lupa. Harta. Ayahmu punya harta melimpah yang tidak Roni punya," lanjut Bik Lisna. Wanita berusia enam puluh tahun itu kini terisak.
Sementara aku? Aku tidak tau harus menangis atau marah. Aku hanya membisu, tidak mampu berkata apa pun. Bahkan sekedar menenangkan Bik Lisna pun, aku seperti tidak berdaya.
"Bik ...." Akhirnya aku memberanikan diri menenangkannya.
"Bibik sudah tidak kuat, Shafa," isaknya.
Sebenarnya aku juga tidak tega melihat keadaan Bibik, tapi aku butuh penjelasan sekarang. Aku butuh sebuah kebenaran, agar bisa menentukan sikap.
"Shafa mohon, Bik. Tolong ...." Aku memelas.
Bik Lisna menepuk-nepuk dadanya. "Ini yang palin berat, Fa," ucap Bibik.
"Bik?" Aku semakin tidak sabaran.
Entah apa yang akan Bibik pikirkan tentangku nanti, tapi aku benar-benar ingin mendengar semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.
"Roni tidak bisa mengontrol emosi lagi, hingga hilang akal dan mengah@bisi Indira saat itu juga lalu tidak lama setelahnya ia pun mengakhiri hidupnya. Di depan ... Nadira." Terbata-bata Bibik menyelesaikan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.