"Maaf, Shafa ...."
Aku mengurungkan niat untuk membuka mata saat mendengar suara Mas Reno.
"Maaf ...," ucapnya lagi dan seperti hendak menyentuh wajahku, tetapi tangannya tertahan dan sedetik kemudian ia menurunkan tangannya.
Aku masih terus memejamkan mata, menunggu Mas Reno bicara. Namun, Mas Reno tidak kunjung berucap. Aku pun membuka mata dan mendapati Mas Reno tengah mendongak, berusaha menghalau air matanya, meski pada akhirnya menetes juga. Mas Reno menangis? Buru-buru aku memejamkan mata lagi, saat melihat pergerakan Mas Reno.
Ada apa denganmu, Mas? Kenapa menangis? Aku terus bertanya-tanya.
Saat aku memutuskan hendak membuka mata, Mas Reno buru-buru pergi dari kamar ini.
"Mas ...," panggilku lirih. Entah Mas Reno mendengar atau tidak, sebab suamiku itu tak lagi menoleh.
Aku menggigit bibir dan berusaha menahan laju air mata, tetapi akhirnya ia luruh juga. Setelah kepulangan Mas Reno dalam keadaan mabuk semalam, aku memang belum sempat bicara dengannya. Lagi pula, bukankah percuma bicara dengan orang yang tidak sadarkan diri. Terlebih mendengar racauannya yang cukup menyayat hati. Akibat terlalu kecewa, aku pun memutuskan untuk tidur di kamar lain.
"Huh!" Aku meniup napas, setelah sedikit tenang.
Sudahlah! Dari pada memendam banyak pertanyaan, lebih baik menemui Mas Reno saja dan menanyakan semuanya. Semoga saja Mas Reno sudah tidak marah lagi.
Senyum, Shafa!
Aku menguatkan diri sendiri..
"Mas? Mas Reno?" Aku terus memanggil, meski nyatanya panggilan itu sia-sia. Sebab, seluruh ruangan telah aku susuri, tetapi tidak menemukan Mas Reno.
Hatiku semakin sakit dan kembali bertanya-tanya, apa yang membuat Mas Reno seperti berusaha menghindari. Namun, kenapa ia tadi menangis?
"Hallo? Assalamualaikum." Aku tersentak, sebab samar-samar mendengar suara dari ponsel. Segera aku memeriksa ponsel yang memang sejak tadi aku pegang, karena ingin menghubungi Mas Reno.
Ibu?
"Hallo, Shafa?" Suara Ibu kembali terdengar.
"Eh? Hallo, Bu," sahutku akhirnya. "Ada apa, Bu?" Sedetik kemudian aku menyesali pertanyaanku. Ibu pasti bingung, sebab akulah yang menelponnya.
"Kok ada apa? Ibu pikir ada sesuatu yang ingin kamu katakan, makanya tumben pagi-pagi nelpon," jelas Ibu.
Aku menggigit bibir. Berusaha berpikir, alasan apa yang tepat aku utarakan. Mengatakan sikap Mas Reno? Sangat tidak mungkin. Apa lagi semuanya masih belum jelas. Mungkin saja Mas Reno lagi nyari sarapan atau ada urusan.
Berpikir positif, Shafa!
"Shafa? Kenapa, Nak?" Ibu kembali bertanya. "Kok, malah diam?"
"Aa ... itu, Bu ...." Aku benar-benar bingung akan mengatakan apa.
"Itu apa?" cecar Ibu tidak sabaran.
Sudah pasti pagi-pagi begini Ibu sangat sibuk mempersiapkan segala keperluan Ayah dan menyiapkan makanan untuk adik-adikku, sebab untuk urusan memasak Ibu lebih senang mengerjakan sendiri. Bik Atun, hanya kebagian bersih-bersih dan mencuci pakaian sekaligus menggosoknya.
"Shafa?" Ibu kembali mendesak.
"Eh! Iya, Bu. Shafa ... ingin bertanya ... resep. Ya, resep." Akhirnya aku menemukan sebuah alasan.
"Resep? Resep apa? Kenapa bertanya resep saja seperti ingin meminta berlian seberat satu kilo," gurau Ibu, kemudian terkekeh.
Aku ikut terkekeh mendengar gurauan Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.