Bab 40

1.4K 94 1
                                    

Assalamualaikum, Dear.
Selamat membaca dan enjoy. Komen dan vote, ya😘

🌺🌺🌺

"Nanti saja, ya, Bude. Aku masih sangat capek." Akhirnya pria itu menemukan alasan yang cukup tepat untuk menghindari keinginan sang bude. "Aku ke kamar, ya, Bude," katanya lagi seraya beranjak, meninggalkan Bude Ina yang terlihat cemberut.

Sesampainya di kamar, pria itu berbaring  untuk mengistirahatkan tubuhnya yang memang terasa sedikit lelah akibat perjalanan jauh. Dengan berbantalkan tangan, pria itu menatap langit-langit kamar. Pandangannya menerawang, memikirkan sang pujaan hati yang sudah lebih setengah tahun tidak ia ketahui keberadaannya. Mungkin ia memang salah dulu, terlalu cepat memutuskan sesuatu padahal gadis itu masih sedang dalam masa terendahnya.

***

"Ibu, Shafa mau ke pasar dulu, ya. Ini tiba-tiba ada pesenan buat besok siang," kata Shafa pada ibunya yang sedang berada di dapur.

"Loh, bukannya mau istirahat dulu, Nak. Sebaiknya gak usah diterima dulu. Sejak beberapa hari ini kamu sudah sangat sibuk. Nanti kalau kamu kecapekan gimana?" Aisyah segera mendekati Shafa dan menahan langkah putrinya.

Shafa tersenyum lembut dan mengelus tangan ibunya yang tengah menggenggam lengannya. "Tidak apa-apa, Bu. Masa rezeki harus ditolak," balasnya.

"Bukan begitu. Tubuh kamu juga butuh istirahat. Ibu tidak mau kamu kenapa-napa," ujar Aisyah serius.

"Insyaallah, tubuh Shafa ini kuat, Bu," balas Shafa lagi kemudian mengambil kunci motor. "Shafa berangkat, ya, Bu," lanjutnya.

Meski sedikit tidak setuju, tapi Aisyah tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini mereka memang harus berjuang lebih keras untuk masa depan yang lebih baik nanti.

"Kakak, Shofi ikut."

Shofia menyudahi makannya dan berlari mengejar sang kakak.

"Ish, kamu ini! Kakak cuma ke pasar doang pake ngikut segala," protes Shafa seraya menyalakan motor.

Seperti biasa, Shofia balas nyengir.

"Udah, kamu di rumah aja. Bantuin Ibu," ujar Shafa lagi.

Shofia memasang wajah andalannya. Cemberut.

"Hadeh." Shafa merotasi bola matanya. Jengah.

"Hehehe." Meski tanpa persetujuan sang kakak, Shofia tetap naik dan membonceng di motor Shafa. "Ayo, jalan!" serunya kemudian.

Shafa hanya menghela napas pelan, kemudian mulai menjalankan kendaraan beroda dua tersebut. Hanya sepuluh menit perjalanan, keduanya akhirnya sampai di pasar. Shafa dan Shofia pun mulai membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Setelah mendapati semua barang yang harus dibeli, keduanya bergegas pulang.

Shafa menghentikan motornya ketika telah sampai di depan rumahnya. Tanpa dikomando, Shofia mengambil beberapa barang yang telah mereka beli dan membawanya masuk, bertepatan dengan datangnya Bude Ina dan keponakannya.

"Shafa," panggil Bude Ina membuat Shafa dan Shofia menoleh. "Habis belanja?" tanyanya kemudian.

Shafa terpaku di tempat. Belanjaan di dalam genggamannya terjatuh. Begitu juga dengan Shofia. Gadis itu sama terkejutnya, tapi masih bisa menguasai diri.

Pria di depan Shafa juga sejenak terpaku. Ia tidak menyangka, gadis yang sudah menguasai seluruh ruang di hatinya akan ia temui di sini.  "Shafa ...," gumamnya lirih.

Bude Ina seketika menoleh pada keponakannya dengan sorot bingung.

"Fa ...." Pria itu kembali bersuara lirih.

RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang