Assalamualaikum, Dear ❤️
Shafa hadir lagi menemani malam kalian. Semoga selalu suka dan jangan pernah bosan, ya. Seperti Bella yang selalu suka dan tidak bosan ngingetin kalian agar jangan lupa meninggalkan jejak berupa vote dan komennya😁🤭Jangan lupa follow akun NajwaBella998 juga, ya🥰
Terima kasih, love kalian banyak-banyak ❤️❤️❤️
🍁🍁🍁
"Semua sudah siap?" tanya Ayah setelah selesai memasukkan koper ke dalam bagasi mobil.
Aku dan kedua adikku mengangguk serentak. "Sudah, Yah." Shofia dan Syifa menjawab.
Aku melihat Ibu yang baru saja datang untuk bergabung bersama kami. Sementara kedua adikku sudah lebih dulu berebut kursi di dalam mobil.
"Gimana? Semua sudah beres," tanya Ibu.
"Sudah, Bu. Ayok, itu Pak Ahmad sudah nungguin," jawabku lalu mengambil alih kresek yang di dalamnya terdapat cemilan Si Bungsu.
Lihatlah, saking antusiasnya adikku itu, ia sampai melupakan cemilan yang sudah ia persiapkan sejak tadi. Aku menggeleng, mengingat kehebohannya tadi sore saat berbelanja makanan ringan ini dan kini malah terlupakan.
"Kenapa, Nak?" Ibu mengernyitkan alis melihatku tingkahku.
Aku terkekeh. "Tidak papa, Bu. Shafa hanya merasa lucu dengan sikap ceroboh Shofi yang masih belum berubah," jelasku. "Ibu tau?" Aku menggamit lengan Ibu dan menuntunnya menuju mobil yang tengah dipanaskan Pak Ahmad--supir Ayah.
Ibu memicing mendengar pertanyaanku. "Apa?" kata Ibu.
Aku mengangkat kresek yang berisi makanan ringan milik Shofia. "Ini, Shofia tadi sangat heboh beli ini. Eh, sekarang malah dilupain," kekehku.
Ibu ikut terkekeh. "Sudah, ah," ucap Ibu sambil mengibaskan tangan.
"Huaaa ... ternyata ada sama Kakak, toh?" ujar Shofia berbinar. Pasti gadis paling bungsu dalam keluargaku itu sudah kewalahan mencari harta karun alias cemilan miliknya ini.
Shofia hendak turun untuk mengambil alih kreseknya, tapi segera ditahan Syifa. "Gak usah drama. Tetap di sini," ucapnya menarik lengan Shofia. Syifa pasti sudah bisa menebak niat Shofia yang tidak ingin duduk di kursi paling belakang bersamanya.
Aku dan Ibu kembali terkekeh, melihat Shofia menekuk wajah. "Ish! Kak Syifa," rengeknya dan akhirnya mengurungkan niat untuk menghampiriku.
"Syifa, Shofi!" Ayah memperingatkan. Seketika kedua gadis itu terdiam. "Shafa dan Ibu, ayok masuk, nanti kita ketinggalan pesawat!" Kini Ayah beralih padaku dan Ibu.
Tidak ingin ucapan Ayah menjadi kenyataan--ketinggalan pesawat, apalagi Pak Ahmad sudah sejak tadi menunggu, aku dan Ibu pun segera masuk lalu disusul Ayah yang mengambil posisi di samping Pak Ahmad. Mobil pun dinyalakan oleh Pak Ahmad dan mulai membelah jalanan yang akan membawa kami ke bandara.
***
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah Tante Elis. Kak Aira dan beberapa keluarga yang sudah lebih dulu datang menyambut kedatangan kami antusias. Terlebih Kak Aira dan Tante Elis. Gadis yang sebentar lagi akan melepas masa kesendiriannya ini memelukku sampai berkali-kali, saking senangnya. Aku juga balas memeluk erat.
Kak Aira pernah mengatakan, kalau ia amat kesepian karena menjadi anak semata wayang dalam keluarganya. Terlebih saat Om Irfan berpulang dahulu, ditambah lagi beberapa tahun kemudian Tante Elis mulai membangun mahligai pernikahan yang baru. Kak Aira semakin merasa sendiri. Kenyataan tentang Tante Elis yang memilih menjadi yang kedua pun sangat-sangat membuat ia terpukul. Dan hingga saat ini, ia masih belum sepenuhnya bisa menerima adik-adik tirinya. Entahlah. Aku tidak ingin menyalahkan Kak Aira, sebab selama ini, ia tidak pernah berbuat tidak baik pada kedua adik tirinya. Ia berlaku baik, tapi untuk sebuah rasa yang bernama kasih sayang, ia masih belum bisa memberikan.
Setelah lepas dari Kak Aira, aku segera menyalami seluruh keluarga yang sudah hadir lebih dulu. Saat hendak mendaratkan bobot tubuh di sofa, Kak Aira segera menarikku.
"Ada apa, Kak?" tanyaku bingung.
"Sudah. Kamu gak usah gabung di situ. Gak baik nanti buat kondisi hati dan pendengaranmu," bisik Kak Aira agar tidak ada yang bisa mendengar selain aku.
Aku mengernyitkan alis sebentar karena ucapan Kak Aira. Namun, sedetik kemudian, aku tersadar dan mengangguk paham. Kegagalan pernikahanku akan menjadi sasaran empuk pertanyaan-pertanyaan dari mereka yang haus akan gosip. Dan kakakku ini sudah bisa menebak itu. Ah, serasa ada yang sesuatu yang hangat menjalari ruang hati mendapat perlakuan seperti ini dari Kak Aira. Sepeduli itu ia padaku.
Aku pun mengikuti langkah Kak Aira yang sudah pasti menuju kamarnya. Setiap ke sini, kakakku ini pasti tidak mengizinkan aku ke kamar lain selain kamarnya. Berbeda dengan kedua adikku. Sama Kak Aira, mereka bebas mau menempati kamar Kak Aira atau kamar tamu mana pun. Syifa dan Shofia memang tidak terlalu dekat dengan Kak Aira. Jadi mereka tidak pernah mempermasalahkan sikap Kak Aira yang berbeda terhadapku.
Saat akan memasuki kamar Kak Aira, langkahku tiba-tiba terasa berat. Kejadian lebih dari tiga tahun lalu memenuhi ingatan. Berputar-putar bak potongan-potongan film yang cukup membuat hati merasakan sesak.
"Ada apa, Fa?" tanya Kak Aira yang menyadariku memperlambat langkah. "Fa?" Kak Aira menyentuh pundakku pelan lalu mengusap-usapnya lembut. Seakan mengerti kenangan buruk itu tengah menghampiri, Kak Aira menyalurkan kekuatan melalui ucapannya. "Semua sudah berlalu. Tante Aisyah dan Om Bayu kini sudah terlihat hangat lagi. Jangan khawatir! Bukankah wanita itu juga sudah tiada?"
Aku mengangguk ragu. Kak Aira belum tahu apa pun. Andai ia tau, apakah ia masih sanggup berkata seperti itu? Ah, kenapa aku lagi-lagi harus mengingat kenangan buruk itu? Bukankah sudah seharusnya aku melupakan? Terlepas dengan apa yang tengah terjadi saat ini, akibat dari kejadian lebih dari tiga tahun lalu.
Aku mengembangkan senyum, untuk menenangkan hati Kak Aira yang mungkin kini tengah dilanda khawatir.
"Kakak benar. Semua sudah berlalu," sahutku dan kembali melanjutkan langkah, mengikuti Kak Aira.Kak Aira yang sudah lebih dulu, membuka pintu. Gadis itu kemudian memasuki ruangan pribadinya itu. Sementara aku seperti mematung saat pintu itu terkuak. Langkah kembali terasa sangat berat. Aku seperti melihat sosok diriku yang terlihat sangat hancur memeluk lukanya sendiri di dalam sana. Pipinya banjir oleh cairan bening yang terus saja mengalir. Kelopak matanya membengkak serta hidungnya memerah, memeluk lutut dengan pandangan nanar. Sangat-sangat memprihatinkan.
Astaghfirullah!
Aku menggeleng, menepis segala bayang-bayang menyakitkan itu. Tidak! Aku tidak boleh larut dalam kesedihan itu lagi.
"Shafa?" Kak Aira memanggilku dengan wajah cemas. "Kenapa? Ingatan buruk itu kembali?" tebaknya tepat sasaran.
Setelah kejadian lebih dari tiga tahun lalu, aku memang sudah tidak pernah menginjakkan kaki lagi di rumah ini. Bukan karena masih marah pada sikap Tante Elis yang seperti membela Ayah. Tapi karena hal ini, kenangan buruk itu masih terbayang jelas di dalam setiap sudut rumah ini. Sebab rumah inilah salah satu saksi bagaimana hancurnya dulu aku. Bagaimana rusaknya kepercayaaanku pada sosok Ayah.
Ya, rumah ini telah memberikan kenangan yang teramat buruk dalam ingatan, hingga aku merasa enggan untuk memijakkan kaki lagi di sini. Namun, hari ini aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak mungkin membiarkan Kak Aira melewati hari bahagianya tanpa ada aku di sisinya. Ia terlalu berharga untukku.
"Shafa?" Kak Aira kembali memanggil, mengaburkan semua ingatan-ingatan buruk yang tengah menari-nari dalam pikiran.
Aku menata hati yang kembali berantakan. Cukup, Shafa! Semua sudah berlalu! Aku memperingatkan diri.
.
.
Bersambung ...
Jangan lupa vote dan komen, ya, Dear ❤️🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.