Sudah sebulan sejak kejadian Shafa memarahi Syifa karena ketahuan menghubungi Bayu dan sampai hari ini, semua berjalan dengan baik-baik saja. Meski Syifa belum pulang lagi setelah kembali ke kota, tapi mereka sering menjalin komunikasi melalui pesan singkat atau terkadang panggilan video. Katanya ia belum bisa pulang karena waktu liburnya selalu saja ada tugas kuliah yang harus segera ia selesaikan. Shafa dan ibunya memaklumi itu.
Saat ini, dua wanita beda generasi itu tengah disibukkan dengan pesanan customer. Keduanya sejak subuh sudah membuat keramaian di dapur. Sementara Shofia, gadis bungsu di keluarga Shafa itu tengah ke rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok.
Tok tok tok!
Ketukan beberapa kali terdengar dari pintu depan.
"Siapa, ya, Bu? Kok, cuma ngetuk pintu doang," tanya Shafa menatap ibunya yang tengah membolak-balik masakan dengan raut penasaran.
"Paling anak-anak yang iseng," jawab Aisyah tanpa mengalihkan tatapannya dari masakan.
Tok tok tok!
Ketukan pada pintu kembali terdengar.
"Bu?" Shafa kembali menatap ibunya, meminta pendapat.
"Ya sudah, coba kamu lihat dulu," saran Aisyah akhirnya.
Shafa yang sedang mencuci piring menghentikan kegiatannya, kemudian membilas tangannya yang penuh busa sabun. Gadis keras kepala itu pun melangkahkan kakinya ke depan untuk melihat siapakah orang yang sejak tadi mengetuk pintu. Tamukah atau hanya anak-anak jahil yang iseng mengganggu.
"Iya, sebentar," teriak Shafa saat pintu rumahnya lagi-lagi diketuk. "Siapa ...?"
Tangan Shafa menarik handle pintu dan pintu itu pun sepenuhnya terbuka.Shafa tertegun. Dadanya seperti dipenuhi gemuruh hebat melihat wajah-wajah di depannya. Wajah-wajah itu adalah yang paling ingin ia hindari.
Mata Bayu berkaca-kaca karena akhirnya bisa menemukan tempat tinggal istri dan ketiga putrinya. Setelah hampir setengah tahun bagai orang tidak waras karena kenekatan Shafa yang memutuskan meninggalkan dirinya.
"Shafa," ucapnya lirih dan ingin memeluk tubuh yang tengah mematung itu.
Shafa menggeleng lalu mundur. Bagaimana bisa Ayahnya menemukan keberadaan mereka. Setelah sejauh ini. Ia akan menutup pintu, tapi Bayu buru-buru menahan pintu itu agar tidak sampai tertutup sempurna.
"Shafa, tolong, Nak ... Ayah hanya ingin bicara sebentar. Sebentaarr ... saja," kata Bayu memohon.
Shafa tidak peduli. Ia terus berusaha menutup pintu sampai suara Aisyah mengagetkannya.
"Siapa, Nak?" Aisyah yang penasaran karena merasa Shafa terlalu lama akhirnya menyusul.
Prang!
Gelas yang tengah ia genggam seketika terjatuh dan berubah menjadi kepingan yang kini berserakan di lantai saat melihat orang-orang yang tengah berdiri di depan pintu rumahnya. Shafa memejamkan matanya. Takdir seperti apa lagi yang Tuhan inginkan padanya. Kenapa Tuhan harus menakdirkannya bertemu dengan sang ayah saat hatinya belum sepenuhnya sembuh.
"Aisyah, ijinkan kami masuk, Nak." Bu Ani yang melihat Aisyah, bersuara. Ia mencoba menyentuh sisi lembut wanita yang telah menjadi menantunya hampir dua puluh lima tahun.
"Iya, Syah. Ijinkan kita masuk, ya?" Kali ini Elis yang bersuara dan ikut membujuk.
Wanita itu terlihat menggendong bayi. Entah bayi siapa. Tidak mungkin kakak iparnya itu kembali melahirkan di usianya yang sudah cukup senja. Itu teramat beresiko dan ia juga sebelumnya tidak pernah mendengar kabar tentang kehamilan Elis. Lalu apakah bayi Aira? Tapi kabar tentang kehamilan Aira pun belum pernah ia dengar. Mereka baru sekitar enam bulan bersembunyi dan tidak mungkin Aira melahirkan dalam kurun waktu tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK
RandomPerkataan orang-orang bahwa Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya sepertinya keliru, sebab bagi Shafa sosok ayah adalah lelaki yang pertama kali mematahkan hatinya sampai berkali-kali.