Bab 12

834 40 0
                                    

Lunglai aku melangkah menuju tempat tidur. Aku sudah sangat lelah. Mungkin dengan tidur, rasa sakit ini bisa sedikit berkurang. Aku memejamkan mata dan berharap segera terbang menuju alam mimpi. Namun, air mata kembali menyeruak, mengalir hingga membasahi bantal. Aku kembali menangis tanpa suara, dengan luka yang kembali menganga. Guling aku peluk erat untuk melampiaskan semua kesakitan yang kurasa.

.

Di sepertiga malam, aku terbangun karena merasa haus. Entah berapa lama tadi aku menangis, hingga akhirnya benar-benar terpejam. Saat aku akan duduk, sebuah tangan terasa melingkari perut. Aku tersenyum. Mas Reno?
Aku langsung teringat pada suamiku dan  segera berbalik ingin melihat wajahnya. Senyumanku meredup seketika, saat mendapati wajah Ibu lah yang kini berada di hadapanku. Bukan Mas Reno.

Shafa bodoh! Aku merutuk lagi.

Bagaimana bisa aku masih mengharapkan pria pengecut itu? Sementara dia sudah membuangku. Aku menangis lagi, setelah sadar dengan kenyataan yang ada di depan mata, melupakan rasa haus yang tadi mengganggu tidurku.

"Nak? Kenapa?" Ibu terbangun karena mendengar isakanku. Padahal aku sudah berusaha meredamnya, tetapi tetap terdengar oleh Ibu.

Aku hanya menggeleng tanpa berbicara, membuat Ibu menarikku ke dalam pelukannya. "Jangan terus seperti ini, Nak. Ada kami di sini," tuturnya lembut.

Aku mengangguk. "Maaf, Bu ... Shafa minta maaf ...," lirihku.

"Tidak apa-apa. Boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut, ya," ujarnya lagi.

"Bagaimana Ibu bisa di sini?" Aku mengalihkan pembahasan.

"Kamu lupa, tiap-tiap kamar selalu Ibu buatkan kunci cadangan?" tutur Ibu.

Aku lagi-lagi mengangguk.

"Lagian tadi, udah Ibu bilangin jangan dikunci pintunya, malah kamu kunci," lanjut Ibu. Kalau saja tidak sedang bersedih, mungkin aku sudah dihadiahi jeweran di telinga oleh Ibu. Namun kali ini, Ibu hanya menatapku sendu.

Aku bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin mengatakan masih ingin menangis makanya pintunya aku kunci. Akhirnya diam menjadi pilihan. Ibu juga ikut terdiam. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Tiba-tiba keadaan terasa begitu canggung.

Ibu menghela napas, seperti mengakhiri kecanggungan diantara kami, kemudian melihat jam yang menempel di dinding kamarku. Menunjukkan pukul tiga lewat. "Ya sudah, Ibu mau solat dulu. Kamu mau ikut sholat?" tanya Ibu.

Aku menggeleng. "Shafa sedang tidak bisa solat, Bu," terangku.

"Baiklah. Ibu ke kamar Ibu dulu, ya. Kamu kalau mau lanjut tidur juga gak papa. Istirahat saja."

Ibu pun turun dari ranjang. Mengelus kepalaku sebentar, lalu segera menuju pintu. Saat akan menutup pintu, Ibu kembali menatapku sendu dan sedetik kemudian memasang senyum yang sangat menyejukkan. Aku pun balas tersenyum.

Ibu benar, aku tidak boleh terlalu bersedih. Kasihan mereka, pasti sangat khawatir. Lihat saja, Ibu sampai tidur bersamaku karena terlalu khawatir.

Maaf ...

Aku kembali merapal maaf.

***

Tiga hari sudah aku berada di rumah ini dengan rasa sakit yang masih terasa sama. Namun kali ini, aku sudah mulai bangkit dan bertekad untuk mulai menerima segalanya. Aku akan mencoba berdamai. Aku juga berusaha untuk tidak menangis lagi, sebab air mata sudah terasa kering. Nanti setelah sarapan, aku akan ke rumah Bik Lisna adiknya Bunda. Bukan untuk mengemis agar bisa kembali dengan Mas Reno, tetapi untuk menanyakan kebenaran segalanya.

RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang