Bab 5

1.3K 61 0
                                    

Bulan pertama sampai bulan keempat pernikahan, semua terasa indah dan manis. Namun, saat menginjak bulan kelima, terasa banyak sekali perubahan dari Mas Reno--suamiku. Suamiku itu berubah jadi kasar. Masalah sepele sekalipun bisa berakibat fatal.

Seperti pagi ini, karena sedang berhalangan untuk salat, aku sedikit telat bangun. Semalaman aku tidak bisa tidur akibat nyeri bulanan yang tak terhindari.

"Dasar pemalas! Jam segini bukannya bangun dan melayani suami, tapi malah enak-enakan tidur kamu, heh?!" Mas Reno menarikku dari tempat tidur hingga aku tersungkur.

"Astaghfirullah," desisku. "Maaf, Mas. Semalam aku gak bisa tidur karena ...."

"Halah, banyak alasan kamu!" Mas Reno memotong ucapanku. Pria yang telah menikahiku lebih dari empat bulan lalu itu terlihat marah. Sorot matanya memerah. "Sana, cepat. Siapin makanan!" teriaknya mendorongku dan membuatku hampir kembali tersungkur.

Aku benar-benar terkejut mendapati perlakuannya. Sebelumnya, ia tidak pernah sekasar ini. Mas Reno memang sedikit pemarah, tetapi belum pernah separah hari ini.

"Buruann ...!" Mas Reno lagi-lagi berteriak tidak sabaran dan mendorongku.

"Mas, kenapa jadi ka ...."

Plak!

Sebuah tamparan yang cukup membuat perih di wajah mendarat di pipiku. Aku tersentak. Sebejat-bejatnya kelakuan Ayah, semarah-marahnya Ayah, tangannya tidak pernah mendaratkan tamparan di pipiku. Tetapi ini ... lelaki yang aku yakini akan menjagaku, nyatanya ....

Perlahan, lelehan bening itu tidak bisa aku tahan. Luruh membasahi pipiku yang mungkin kini telah memerah.

"Malah nangis, dasar cengeng! Cepat masak! Aku lapar!" Mas Reno kembali membentak. "Buruaann!"

Ucapanku tertahan karena mendengar teriakan Mas Reno. Aku terpaksa menurut, menuju dapur. Ada apa dengan Mas Reno. Kenapa ia berubah? Hatiku bertanya-tanya.

***

Setengah jam kemudian, nasi goreng kesukaan Mas Reno telah tersaji di meja makan. Setelah membereskan alat masak, aku bergegas menuju kamar untuk memanggil suamiku itu.

"Mas?"  panggilku pelan saat pintu kamar telah terkuak sempurna. Rupanya suamiku itu ketiduran. Pantas saja tidak ada jawaban.

Langkahku semakin dekat pada sosok Mas Reno. Dengan gerakan pelan, aku duduk di bibir ranjang, mengamati suamiku yang tampak tenang dalam tidurnya.Tanganku terangkat berniat untuk menyentuh wajah yang beberapa bulan lalu ini memberi bahagia. Namun, kejadian setengah jam yang lalu berkeliaran dalam ingatan, hingga tanpa sadar memaksa kristal bening kembali meleleh di pipi.

Ya Tuhan, ada apa dengan suamiku? jerit hatiku pilu.

Astaghfirullah!

Setelah menguasai diri, aku kembali memberanikan diri untuk membangunkan Mas Reno. "Mas, nasi gorengnya sudah siap. Makan dulu, yuk," ucapku lembut seraya membelai rambutnya. Senyum manis aku suguhkan, berharap saat membuka mata suamiku ini merasa damai.

Mas Reno menepis tanganku. "Aduh, Shafa, kamu jangan ganggu!" sahutnya dengan suara serak dan berbalik memunggungi.

"Mas, sarapan dulu. Tadi katanya laper," bujukku lagi.

Namun Mas Reno malah menarik selimut dan menutupi semua tubuhnya. Aku menghela napas pelan. Berpikir sejenak. Jika terus memaksa, bukan tidak mungkin Mas Reno akan marah seperti tadi. Tetapi jika dibiarkan, perut Mas Reno akan sakit, mengingat ia menderita sakit maag yang cukup parah. 

Aku menarik napas pelan lalu menghembuskannya perlahan. Opsi kedua menjadi pilihan, sebab tidak ingin Mas Reno merasakan sakit.

"Mas, makan dulu, yuk. Nanti perutnya sakit kalau sampai telat makan," ucapku sambil menurunkan selimut yang membalut tubuhnya. "Mas?"

"Ya ampun, Shafaaa! Kamu gak tau aku lagi capek? Hah?!" Mas Reno bangun dengan gerakan kasar.

"Maaf, Mas. Shafa hanya tidak ingin Mas Reno sakit karena telat makan," lirihku sambil menunduk. Aku benar-benar tidak berani menatap pada Mas Reno yang terlihat sangat marah.

"Dasar istri tidak guna!" Mas Reno memaki, kemudian  beranjak meninggalkanku.

Brak!

Pintu ia tutup kasar.

Jangan nangis!
Jangan nangis, Shafa!

Aku terus menguatkan diri sendiri. Namun ternyata, aku tidak sekuat itu. Aku merutuki sikapku yang sangat jauh berubah dari sebelum aku menikah. Ke mana Shafa yang tegas dulu? Ke mana Shafa yang pemberani dulu?

Meski hati terasa begitu nyeri, tetapi aku berusaha berdamai, meyakinkan hati. Mas Reno suamiku dan aku harus tetap berbakti padanya, seperti kata Ibu.

Aku memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas perlahan.  Namun, bukan ketenangan yang kurasa, tetapi buliran bening kini membanjiri pipi.

Aku tersedu.

Ya Tuhan, kenapa aku secengeng ini? Aku merutuk.

Sepuluh menit berlalu, hatiku sedikit lega. Ah, ternyata menangis mengurangi sedikit beban di hati. Dulu, semarah apa pun aku pada Ayah, aku selalu berusaha tidak menangis. Aku selalu berusaha terlihat tegar dan kuat. Namun kini, entah ada apa dengan hatiku.

***

Aku pikir kemarahan Mas Reno hanya kekhilafannya semata. Namun ternyata aku salah. Sejak tadi pagi ia meninggalkanku, belum juga ia kembali. Entah ke mana suamiku itu pergi. Entah apa yang membuat ia begitu marah.

"Shafa."

Di tengah-tengah kegelisahan hati, suara Mas Reno terdengar memanggil. Aku sedikit lega. Buru-buru aku berlari menuju pintu dan membukanya. Namun,  kelegaan yang sempat menghampiri hati seakan terbang entah ke mana, mendapati keadaan Mas Reno yang cukup begitu membuat dada sesak.

Bau alkohol.
Mas Reno mabuk?

"Mas?" Aku menangkap tubuh Mas Reno yang hampir tersungkur. " Mas dari mana saja?" tanyaku lalu menuntunnya menuju kamar.

"Mas ada apa? Kenapa seperti ini?"  Kembali kalimat tanya aku lontarkan. Kepalanya aku usap-usap lembut.

Ternyata bukan hanya kemarahan Mas Reno yang aku dapati hari ini, tetapi salah satu hal yang paling aku benci setengah mati. Mabuk. Ya, lelaki pemabuk dan tukang selingkuh adalah hal yang sangat aku benci.

"Aku benci kamu, Shafa. Aku benci kamu." Mas Reno meracau.

Deg!

Aku tertegun. Kupandangi wajah yang terlibat tenang itu. Di alam bawah sadarnya Mas Reno berkata membenciku? Aku menggeleng menepis pikiran-pikiran buruk yang mulai memenuhi. Tidak, mungkin Mas Reno hanya sedang kesal.

"Aku membencimu, Shafa ...." Mas Reno kembali meracau dan mematahkan setiap penyangkalan yang aku pikirkan.

"Mas, ada apa? Jangan buat Shafa bingung," ucapku.

"Aku membencimu, Shafa."

Tidak tahan mendengar Mas Reno meracau yang mengakibatkan sakit hati, aku pun beranjak meninggalkannya. Meski hati diliputi banyak pertanyaan, tetapi tiada gunanya untuk bertanya.

Bersambung ...

Jangan lupa vote dan komen ya, Dear❤️





RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang